Minggu, 16 Oktober 2011

Intermeso... Mungkin


Hey.. kau percaya pertemuan? Perpisahan? Masa depan? Dan mungkin waktu? Kau percaya semua itu?
Pertanyaan yang sangat sederhana, terlalu sederhana mungkin. Hanya terdiri dari 3 sampai  4 suku kata. Tapi banyak dari kita butuh 3 - 4 menit untuk menjawabnya, atau mungkin 3 -4 jam, atau 3 – 4 hari, atau 3 – 4 tahun?? Ah..lupakan saja.

Pertemuan. hmm... seorang ekstrovert pasti sangat suka kata yang satu ini. Bertemu dengan berbagai karakter manusia, pasti menyenangkan baginya. Apalagi manusia itu belum benar benar dikenalnya, atau mungkin tidak kenal sama sekali. Memberanikan diri menyelami kepribadian seseorang, seperti menguak misteri yang sangat abstrak.  Aku percaya pertemuan, karena kita makhluk sosial. Aku percaya pertemuan, karena tanpa itu, dunia terasa sempit. Dan aku percaya pertemuan, karena pertemuan memberi kita kesempatan untuk lebih banyak berbagi senyum dan tawa.

Perpisahan. Ah.. banyak orang membenci kata yang satu ini. Tapi sebenci bencinya, kita tak bisa menafikan kehadirannya. Jika aku percaya pertemuan, dengan sedikit paksaan aku harus percaya perpisahan. Masalah akan terjadi atau tidak, itu nanti. Anggap saja persiapan mental. Yang jelas ku pikir sangat perlu untuk percaya perpisahan. karena perpisahan sampai kapanpun akan terus membayangi pertemuan. Pernahkan terlintas dalam bayangan, bertemu di jalan tanpa sengaja dengan seseorang yang sangat dikenal di masa lampau, namun hanya saling memberi senyum simpul dan berlalu. Ah.. menyedihkan sekali. Tapi setidaknya, perpisahan menghadirkan pertanyaan baru... ‘siapa yang akan ku temui selanjutnya?’.

Masa Depan. Siapa yang tak percaya masa depan? Hampir semua manusia di muka bumi percaya masa depan, kecuali yang tidak. Tanpa percaya masa depan ku pikir kita hanya raga dengan jiwa yang mati. Masa depan memacu kita terus bergerak. Masa depan meyeret senyum saat pkiran berusaha membuat angan. Dan tentu masa depan membuat kita percaya Allah.

Dan waktu??? Aku mulai tak sepaham dengan orang – orang yang mengatakan bahwa segalanya akan selesai seiring waktu. Syapa bilang? Mungkin memang benar sesuatu itu akan selesai.. tapi sepertinya bukan selesai dalam arti sebenarnya. Semu dan mungkin palsu. Beberapa saat yang lalu, aku dan sahabatku berbincang soal ini. Dan kami sepakat bahwa menyerahkan segalanya pada waktu hanyalah omong kosong. Segala sesuatu tetap ada di tangan Sang pencipta dan yang dicipta. Kita lah yang sebenarnya berandil besar dalam apapun atas hidup. Senada dengan catatannya, terakhir kali menyerahkan segalanya pada waktu, tidak kunjung membuat segala sesuatunya selesai. Waktu hanya membuat kita lupa dengan keadaan, tapi tidak hilang, yang mungkin akan muncul suatu ketika di masa depan sebagai bom waktu. Ironisnya, waktu sendirilah yang (terkadang) membuat kita mulai meragukan keberadaannya.

Tapi yaaa.... Aku percaya waktu, karena ia takkan pernah berdusta. Namun lebih percaya pada diri manusia, walau banyak dari kita tak sadar bahwa sesungguhnya manusia lebih mampu dari pada waktu. Lebih lagi, aku sangat percaya Allah, karena untuk hari ini, besok masih milik-Nya.

Sekali lagi, senada dengan sahabatku,

Sekedar simpatik, sayang, atau cinta, mungkin aku harus lebih banyak belajar untuk membedakan ketiganya.

“Walau tak pernah sekalipun kita membicarakan tentang ‘kita’. Terlalu burukkah kenyataan bahwa (seandainya) aku mulai menyukaimu? Jika iya, buat aku mengalir bersamamu tanpa harus hanyut. Karena bila suatu saat kaw pergi, setidaknya aku telah percaya perpisahan.”

Senin, 03 Oktober 2011

Bisik Halus


Udara di sini cukup dingin. Dan kabut masih saja terlihat di mana mana. Sepanjang mata memandang hanya pohon pohon dengan batangnya yang kuat dan daun daun yang rimbun. Ku tarik nafas dalam dalam, dan menghembuskannya perlahan. Ku lihat asap tipis keluar dari mulutku. Mirip sekali seperti di film film korea saat musim dingin. Walau aku tau jelas jelas ini masih Indonesia.

Secangkir teh hangat bertengger erat di antara kedua telapak tanganku, mencoba memberikan sedikit rasa nyaman. Badanku sedikit menggigil. Sweater ku basah, percuma saja bila ku pakai, justru semakin dingin rasanya. Kakiku tak begitu buruk nasibnya, karena dibalut kaos kaki tebal, sembari mendekat pada sisa sisa api unggun peninggalan semalam. Walau tak menyala, hawanya masih panas.

Lambat laun kabut mulai menurun dan pepohonan terlihat utuh. Masih dengan secangkir teh hangat, sebuah bisikan mengagetkanku pelan.

                “ hey, lihatlah gadis di ujung sana”

Ku edarkan pandanganku, mencari pemilik suara. Tak kudapati siapapun didekatku. Di kejauhan, rekan rekanku sibuk dengan urusannya sendiri. Dan aku sengaja mengasingkan diri. Rasa penasaran mengalahkan ketakutanku pada suara tak bertuan. Kucari gadis yang dimaksud. Dan mendapati beberapa. Tiba tiba saja suara itu muncul lagi

  “ iya di situ... tapi lihatlah yang paling berbeda”

Yang paling berbeda? Aku tak mengerti. Sepertinya mereka sama saja. 3 gadis dan 2 laki laki, Masing masing dari mereka mengenakan jaket tebal, bersenda gurau riang, sesekali berfoto foto, dan tak terlihat ada yang special. Lama aq memperhatikan mereka. Suara itu datang

                “ Tak bisakah kaw lihat...gadis dengan senyum sederhana itu”

Gadis dengan senyum sederhana? Ah, mungkin yang itu. Gadis dengan gaya kasual, Jaket hitam, dan sepatu kets biru dongker. Ah, tapi apa yang menarik?? Sepertinya byasa saja. Suara itu kembali mengagetkanku, seolah menjawab setiap pertanyaan yang ada di benakku.

                “ Jangan kaw pandangi penampilannya... lihat sisi yang lain. Sorot matanya”

Sorot matanya?? Sejenak kupandangi terus gadis itu. Dan sepertinya ia tak menyadari kelakuanku. Okay... sorot matanya memang sedikit berbeda. Terdapat keteduhan sekaligus lelah di sana. Jika tak diperhatikan dengan seksama, memang tak akan nampak. Keriuhan itu melaksanakan tugasnya dengan sempurna, mewujud kamuflase.


Aku mulai tertawa kecil mendapati ini. Tak pernah sebelumnya ku perhatikan gerak gerik manusia di sekelilingku. Jika semuanya tertawa, pasti semua bahagia. Itu fikirku dahulu. Gadis itu tak pernah melepaskan senyumnya, namun sorot matanya jelas tak bisa menipu. Saat yang lain lengah, terkadang ia memilih memandangi entah apa di kejauhan.  
Aku tersenyum simpul. Sebuah pertanyaan melekat di otakku. Apa maksud ini semua? Siapa atau apa suara tadi?

  “ aku adalah aku... dan kaw tak perlu tau apa atau siapa aku. Aku hanya ingin membuatmu tersadar, banyak  hal di dunia ini yang luput dari mata kalian. Jadi, menurut u ini apa??”, jawab pembisik

 Aku menjawab,

  “ Tak semua senyum adalah senyum... tak semua yang tertawa, itu bahagia”


Dan suara itu tak pernah terdengar lagi.................. Sunyi....

Sisi Cerahmu


Pada satu sisi
Sinar pagi menembus lubang lubang kecil di dinding rumahmu..
Mencipta sorotan sorotan eksotis, mengukir bayangan semu.
Seekor kupu kupu biru menyelinap cantik lewat ventilase ruangmu
Menyuguhkan kedamaian layaknya etalase toko bunga pegunungan

Ku lihat wajah teduhmu
Menyiratkan kekuatan sekaligus ketakutan
Mata itu masih terpejam... Walau mungkin sesungguhnya terjaga

Ah.. sinar itu mulai bergerak pelan menyinari wajahmu..
Semakin menguatkan bahwa kaw pantas untuk dicintai...

Sekumpul memori berkelebat cepat di depan mataku..
Menyuguhkan cerita cerita masa lalu mu..
Dalam diam mu, kau bicara
Mengurai semua itu padaku...

Satu yang kukagumi darimu..
Senyummu akan selalu nampak setiap pagi..
Ah... tidak hanya pagi... kapanpun..kaw selalu tersenyum

Senyum termanis yang bisa kau berikan...walau mungkin siang dan malam akan pahit..
Ya... aku suka senyummu

Dan sekarang... sedikit lirih ku bicara padamu...
“bangunlah.... ada lagu untukmu pagi ini... kau pasti suka” :))