Senin, 26 Maret 2012

Semacam Kritik Mode Dari Orang Yang [nggak] Ngerti Mode


“Teng.. Teng..”

Jam dinding di ruang tengah berdenting cukup keras. Dengtingan terdengar sebanyak dua kali, menandakan saat itu memang sudah pukul 2 siang. Matahari sebetulnya tak terlalu terik, tetapi hawa panas menyelimuti hampir di setiap ruas ruang. Kami duduk terdiam di ruang tengah, bermain dengan pikiran masing masing.  Ia menatapku teduh, sedangkan mataku lurus mengarah ke depan, tak pasti sedang melihat apa. Selang beberapa menit, ia mulai bertanya.

“Aio.. jadi gak.. kamu maw makan di mana?”

Aku terdiam mendengar tanyanya. Tak tahu kalimat mana untuk membalas. Lama tak terdengar jawaban dariku, ia putuskan untuk mengajakku keluar terlebih dahulu. Soal makan apa dan dimana bisa dipikirkan sambil lalu.
Sejurus kemudian aku beranjak menuju kamarku,  dan memilih sebuah baju lengan panjang berwarna dasar putih yang penuh dengan motif bunga besar besar. Sejujurnya jarang sekali aku memakainya, itupun pemberian dari seorang kerabat dekat, yang jika aku pergi ke toko pakaian tak akan sedikitpun kulirik. Tetapi saat itu aku sedang ingin tak terlalu repot. Hawa di luar cukup panas, dan sangat malas sekali memakai pakaian berlapis.  Kupikir kainnya cukup nyaman untuk dipakai, walau aku tak terlalu sepakat dengan motifnya. Ah... pentingkah, hanya untuk kuliah selama 1,5 jam, tak apa pikirku. Toh, yang penting masih sopan.

Selama perjalanan, kami berdiskusi sebentar untuk menentukan tempat mengisi ulang energi. Akhirnya kami pilih sebuah tempat makan yang tak terlalu jauh dari kampus. Segalanya masih sangat baik baik saja. Tak ada yang terlalu penting. Pukul 3.15 kami sama sama menuju ruang kuliah, dan masih baik baik saja. Kelasku selesai tepat sepuluh menit sebelum bel berbunyi. Tak lama Ia menghampiri kelasku karena memang aku tak segera keluar saat kelas dibubarkan. Ada sedikit urusan dengan seorang teman. Selesai dengan urusanku, kami bersama menuju tempat parkir. Langkah kami terhenti saat bertemu beberapa teman sedang berkumpul di sebuah lobby, dan masih sangat baik baik saja. Entah aku yang terlalu tak peduli, yang pasti tak ada masalah buatku. Selanjutnya ia mengantarkanku kembali ke rumah. Sesampainya di depan rumah, ia memberikan komentarnya soal pakaian yang kukenakan.

“Bajumu jadul banget sih”

“Baju apa?” balasku.

“Itu, yang kamu pake, liatlah dikampus, ada yang pakai motif begitu?”

“hahaha...  “ kutimpali komentarnya dengan tawaku dan sebuah penjelasan singkat.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kisah diatas, sebetulnya tak lebih dari sebuah prolog untuk memulai apa yang ingin kusampaikan. Dari penyataan lelaki dalam kisah diatas, aku mulai berfikir bahwa menjadi lelaki sangatlah sederhana. Dalam dunia mode, wanita sangat lebih bisa untuk dieksplorasi. Untuk pria, model pakaian tak pernah terlalu berkembang signifikan, ataupun menurun drastis. Mode pria cenderung stagnan. Tak ada yang terlalu bisa diekplorasi. Aku tak tahu apakah kaos dan jeans sudah ada sejak jaman nabi adam, tetapi yang jelas, model baju pris tak pernah terlalu jauh dari kaos, jeans dan mungkin kemeja.  Tetapi wanita??

Jangan harap bisa menemukan baju “kemarin sore” masih dipakai remaja putri untuk “keesokan harinya”. Dari hal itu, aku mulai mafhum, kenapa dunia model bagi wanita sangat dikagumi dan seperti tak pernah mati. Ya.. karena jelas, mereka ada untuk menunjukkan model model pakaian yang menurut si perancang “New Arrival”. Bagi wanita yang tak terlalu memperhatikan mode dan sama sekali tidak shopaholic sepertiku, bagi sebagian umat “Louis Vuiton dan The executive”  mungkin dibilang tidak “Gaul”. Aku pribadi sebenarnya masih rancu untuk ukuran menilai seseorang “gaul” atau tidak. Tapi yah, seperti sudah disepakati berjamaah secara tidak sengaja, biasanya indikator “gaul” dilihat dari life style dan kroni kroninya.

Sebuah pakaian yang belum genap 5 bulan digembar gemborkan banyak kaum hawa, tak menutup kemungkinan telah lenyap tak berbekas untuk saat ini. Seorang remaja yang memakai pakaian tersebut saat ini, sangat mungkin mendapatkan predikat “ketinggalan jaman” dari teman teman sekampusnya. Bahkan mode di dunia sepatu yang beberapa bulan lalu masih semarak membahas “flat shoes”, sekarang mulai beralih membincang soal “wedges” yang aku sendiri tak begitu faham bagaimana cara membacanya. W(e)dges, w(i)dges, atau wdges. Ah... rumit.

Soal gaul tidak gaul serta jadul tidak jadul ini pula yang membuat banyak wanita terjebak dalam rasa “gengsi mendarah daging”. Terkadang seorang follower ataupun trendsetter sekalipun, tak akan mampu melihat tetangga kamar kosnya memakai tas “guess” dan  baju “connection” serta sepatu “crocs” model terbaru. Hal itu membuat mereka ingin terus ke mall dan berbelanja barang barang terbaru. Bagi anak seorang pejabat negara atau pengusaha yang mungkin tak tahu akan menggunakan uang “berlebih” nya untuk apa, sangat mudah merealisasikan hal itu, tetapi bagi remaja yang bisa melanjutkan studi saja sudah bagus, hanya akan menumbuhkan rasa iri hati.

Mode terkadang memang penting, supaya tak terlalu menjadi buah bibir masyarakat. Tetapi jangan sampai diperbudak oleh mode. Bagiku, mode tak selalu harus diikuti. Jika tak sesuai dengan kepribadian ataupun selera, untuk apa? Sering sekali kita dengar bahwa obat stress ataupun penat bagi wanita adalah berbelanja, tetapi menurutku tak selamanya benar, ada kaliamat yang hilang, yang berfungsi sebagai kalimat syarat.

“obat stress dan penat bagi wanita adalah berbelanja, jika memiliki uang

In Short : Mode itu mahal.... Gengsi itu mahal.... Wanita itu mahal... 



P.S : Makasih buat Mohammad Dzikie Aulia Alfarauqi yang dalam hitungan detik telah memberiku inspirasi untuk menulis (kembali)... :p