Jumat, 29 Juli 2011

Menyisakan Jejak

Hai... Kubuka tirai ruangmu perlahan dan terdiam kemudian.

Selangkah kucoba susuri sebaris jalan, ada hawa yang berbeda.


Jujur kukatakan padamu denting jarum itu menggangguku !!

Memaksaku mengingat akan masa


Tak lama kulihat seonggok kertas dengan pena disisnya.

Aku yakin itu milikmu.... semua orang tahu itu.


Ku raih penamu dan mulai meracau di kertasmu juga.

Tak peduli apapun... tentang apapun.


Sebaris ruang tersisa di pangkal kertas,

dan kuhentikan penamu untuk kaw lanjutkan esok hari tanpaku.

Senin, 25 Juli 2011

Unexpected

Hey... its me, the owner if this blog. Hmm... actually i seldom tell openly about my life. Sometimes i just put a bit vent in my story. But, this time, i think i really want to tell you what i feel. Its about karma [ i dont really know how to call it in english, so..from now on, we call it in indonesia’s language].

Karma. I know all of you ever hear about this word. But i think not all people believe in it. My question is, do you believe in karma? Some people a bit hard to believing something without any prove, including me. I believe that everything in this world has their own consequences, but i think not always on the same way. The definition of karma in my mind is when you hurt someone, you will be hurted by someone else in the future. But we can not apply it to all people. Many people in this world havent experienced it yet.

Some days ago, suddenly i remembered this word. I thought maybe i was experiencing it. If it is true, i have been experiencing it for 5 month. And i think i have got 2, or maybe 3. Oh..my God. Hopefully it is not true.

So long ago, when i was in senior high school, i was closed by 2 mans. Both of them so kind and had their own way to get my heart. One of them told me about his feeling by short message service. And you know?? I didnt like it. I prefer be shot directly to indirectly. Because i feel that the effect is different, especially for me. Back to the first man. Before that, i was so closed with him. I regarded him as my brother. After he shot me, i was so afraid to meet him. I didnt know why. I just felt a bit worrie when i had to meet him. In short, i always run and tried to stay away. It happened for about a year, whereas we were in the same club.

Now, we move to the second man. This man so atractive and also has high confident. He treated me so well. Too well i think. He sent me his messages almost every day and sometimes he called me. One day, we watched movie together. He invited me and i accepted it. On the cinema, he brought me the ticket and a glass of coffee of course with a big box of corn. I felt uncomfortable on that time. After the film, he offered to have lunch, but i tejected it. On my mind, i just wanted to arrive at home as fast as i can. But, after we arrived at home, he didnt back earlier. Without my permission, he entered to my terrace and sat down, and then gave me a necklace in a red box. The situation made me feel more..and more weird. Time went by. After that day, he dissapeared. He never sent me message anymores..and of course never called me. When we met in an event, i always tried to stay away from him. I seldom talked to him. I just said hello and then went to another place. It happened for about 8 months.

For the third man, he was my ex. We didnt speak each other for about one and a half year whereas we were in the same class. Can you imagine it??? I never talked to him, i never went with him, and of course i seldom sat together with him. But now, everything is clear. We become a friendship again, and he already have a girlfriend. How nice.. J

Thats all my 3 cases. And now, do you know what happend?? A bit weird but real. Some months ago, i closed to someone. Actually didnt really close. Since the first time i met him, he just kept quiet. There were so many rumors between us, but, once again, he just kept quiet. Time went by, sometimes he sent me his messages. When we met in social network we chated alternately, and the climax of this case, we watched movie together. But after the cinema tragedy, we never met and talked for so long. Over all, he often dissapeared. And now, every time we meet, he just stay away from me. When he see me, he just say hello and then go to another place. So similar like what i did in the past. He dont want to sit and have a talk with me. He act as if there were nothing happened between me and him. And the most painful in this case, it feels like we never be a friend. I dont know when it is end, but i hope as soon as possible. Honestly, i hate such situation.

Thats why, now, i start thinking about karma.

How do you think???

Am i getting a karma?

Kamis, 21 Juli 2011

Kanvas Kosong Part II

Yogyakarta cukup dingin semalam dan Liza baru bisa memejamkan mata pukul 2 dini hari. Pukul 5 sebuah jam pemberian dari teman dekatnya di atas meja berdering, tapi tak cukup ampuh membangunkannya dari alam mimpi. 2 jam kemudian, bundanya memasuki kamar Liza dan hanya bisa berdecak menyaksikan anak gadisnya masih terlelap di pagi hari yang cukup cerah. Dalam hatinya, sang bunda berucap, “Zaa., matahari yang sama akan selalu bersinar untuk hari yang tak pernah berulang. Pagi ini pun, tak akan pernah kaw temui di pagi yang lain, baik kemaren maupun esok.Tak usah bersedih, harimu akan selalu berbeda, walapun dengan matahari dan bulan yang sama”


Mendengar hal itu, senyum Liza tersungging dan kepalanya mengangguk pasrah. Dalam hati ia bersyukur memiliki sosok Ibu yang sangat pengertian dan sabar. Sesegera mungkin ia paksa tubuhnya terangkat dari kasur empuk lalu setengah berteriak, “hoahhh,,,,, morrniinngg... i wonder how life will surprise me today,,,, :))”


Bunda mulai menyusuri setiap jengkal lantai kamar anaknya dan berhenti tepat di depan tirai jendela. Tanpa ragu, beliau sibakkan tirai itu sekuat mungkin sehingga sinar pagi dapat menembus ruangan anaknya tanpa bisa dielakkan. Awalnya Liza tak bereaksi, tapi tak butuh lebih dari 3 menit tubuhnya mulai menggeliat sembari memicingkan mata, berusaha menghindar dari sinar yang tepat mengarah ke matanya, menyilaukan. Sembari mengumpulkan nyawa, ia edarkan matanya dan mendapati sang bunda berada di salah satu sudut kamar. Liza lihat bundanya tersenyum dan berkata, “ tangi nduk, wes jam piro iki?? Siram trus sarapan.. Bunda uda buat masakan kesukaan kamu”.


Di meja makan, Liza menyantap makanan kegemarannya dengan lahap. Sang bunda tetap saja hanya bisa tersenyum melihatnya. Ruang makan itu tak terlalu luas, tetapi cukup untuk meja dengan 6 kursi. Desain ruangan minimalis, dengan 2 figura tergantung di sisi yang saling berhadapan. Tak banyak ornamen yang terpampang di sana. Salah satu dari 2 figura itu berisi lukisan bundanya yang Liza buat 3 hari lalu, tentu saja atas permintaan tulus dari beliau. Kalian tahu itu.


Hari itu Liza berencana ke toko buku. Entah berujung di kasir atau tidak, ia cukup senang hanya dengan melihat tumpukan buku berbagai cover. Toko itu tak terlalu ramai saat dirinya tiba di sana, tapi juga tak cukup jika ia hitung dengan jari tangannya saja. Selain suka melukis, tak perlu ditanya, Liza bisa menghabiskan waktu berjam jam di toko buku, walaupun sekali lagi,.. ditekankan,.. tanpa membeli... sebuah bukupun!


Saat sedang asyik menbolak – balik halaman sebuah buku yang segel plastiknya memang sudah terlepas, seseorang memanggilnya pelan dari belakang. Suara itu sedikit mengandung keraguan, seolah memastikan apakah yang disapanya adalah orang yang tepat. Liza terdiam sesaat. Hatinya pun ragu, tapi merasa tak asing dengan suara itu. Perlahan, ia balikkan badan dan mendapati sosok laki laki tampan dengan postur tubuh yang proporsional. Tak terlalu tampan sebenarnya, tapi cukup manis dan menyejukkan. Untuk beberapa menit ia masih ragu dengan pandangan matanya, dan berusaha memutar memori secepat mungkin. Sementara itu, laki laki tadi mulai tersenyum, pertanda telah yakin dengan yang ia lihat.

“Liza...kamu benar liza kan???”.


“iyaaa...p... aku liza.. maaf... kamu syapa ya?? Mungkin aku yang lupa”, ujar Liza dengan penuh selidik.


“hhah.... iya zaa... gak papa... aku Tama. Ingat nggak??”, ucap laki laki tadi dengan nada yang semakin mantap.


Liza hanya terdiam dengan tetap mempertahankan senyum tanggungnya dan tentu saja tak berhenti berfikir. Melihat reaksinya yang seperti belum juga menemukan kepastian, laki laki tadi kembali berucap, “Tama zaa...Tama... temen smp kamu! Dulu aku emang gendut sekali... mungkin itu yang buat kamu lupa. Sudah ingat???”.


Lambat laun ingatan Liza pulih, dan sejurus kemudian memang benar benar pulih. Dengan cukup bersemangat ia menyambut senyum lebar teman lamanya itu, “ owww... tamaa... yayaya... aq ingat...ingat... ya ampun tamm... kok bisa kecilan gini sekarang?? Ngapain aja kamu?? Gak makan selama sebulan ya?? Mending kamu kasih aq aja lemak mu yang ada di mana mana itu...kamu lihat kan...aq masih aja cungkring... hhe”.


“haha...bisa aja kamu zaa... lama ya gak ketemu, kuliah di mana kamu sekarang??”


“ iya...lama banget. Aku kuliah dii,,, adalah...pokoknya jurusan antropologi, dan tentunya gak di jogja..hhe. Kamu??”


“oww,,, kamu kuliah di luar kota?? Aku si masih setia sama jogja . Aku ambil jurusan komunikasi.”


“hmm.... keren keren. Cocok kok ama style penampilan kamu yang sekarang, broadcasting bangeeettt....hhe... :))”, Liza berseloroh.


“hahahah....bisa aja kamu za. Liza...Liza”


Cukup lama keduanya bercakap – cakap. Terbilang akrab. Setelah dirasa cukup, Liza minta izin untuk mendahului pulang. Sebelum membiarkan gadis itu pergi, Tama tak absen meminta nomor Liza. Katanya si syapa tau ada perlu. Liza tersenyum saja mengdengarnya. Toh, masih teman lama, fikirnya.


Hari sudah sore saat Liza kembali ke kediamannya. Ibunya sedang asyik menonton infotimen, sedang ayahnya belum kembali dari tempat kerja. Kedua adik laki – lakinya asyik mengobrol di beranda belakang. Liza setengah berlari menuju kamarnya, mengambil laptop dan sebuah modem. Tak butuh waktu lama ia telah berada di sisi bundanya. Liza pun tenggelam cepat dalam dunia mayanya. Ya,, Liza suka sekali internet, terutama situs jejaring sosial. Jumlah teman di salah satu situs bahkan mencapai ribuan.


“ealaah... cah enom jaman saiki,” decak sang bunda menyaksikan anaknya tak bergerak berhadapan dengan sebuah benda kotak, kecuali mata dan jari tangan yang seirama silih berganti ke kanan dan ke kiri.


Pukul 9 malam, baru laptopnya bisa beristirahat. Andaisaja benda itu bisa berbicara, sudah pasti telah lemas dan kehabisan suara, karena meronta – ronta minta dimatikan.


26 Januari 2017


Pukul 13.00 sebuah hp berdering singkat namun cukup keras, ternyata milik Liza. Tanpa perlu dikomando, ia raih ponselnya dan mendapati sebuh nama terpampang di layar itu. Tama. Liza tersenyum mendapati nama itu. Pesan itu berisi pertanyaan apakah ia suda makan atau belum, jika belum, Tama ingin mengajaknya makan siang diluar. Bahkan Tama menawarkan diri untuk menjemputnya. Setelah menimbang sejenak, jempolnya memencet tombol replay, lalu menuliskan sebuah kalimat setuju dan beralih ke tombol ok. Pesan terkirim.


Sebelum berangkat, laptopnya masih menyala. Liza membuka email sebentar, syapa tahu ada pesan masuk. Liza cukup rutin menengok account miliknya itu. Awalnya ia yakin tak ada apa apa, tapi saat folder inbox terbuka, disana terdapat sebuah pesan dari alamat yang belum dikenalnya.


From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#1

Hai.. selamat pagi!


Liza cukup heran dengan email itu. Tanpa tanda pengenal yang jelas. Ia berusaha memutar otak, siapa sekiranya pemilik email itu, Sempat terlintas di pikirannya pesan itu dari Bima, kekasihnya yang hilang itu. Tapi Liza tak yakin itu dari Bima. Bima??email?? Bima jarang sekali menyentuh email. Dahulu saja jika bukan Liza yang memaksa, sampai lebaran kucing juga sepertinya Bima tak akan membuat account. Tapi Liza tak ingin memikirkan itu, ia ingin lepas dari kesedihannya, walaupun jujur ia merindukan sosok itu. Teringat janjinya dengan Tama, buru buru ia matikan laptop itu dan segera lenyap dari kamar tidurnya.


Saat makan bersama, Tama dan Liza mengobrol akrab. Ya, mereka semakin akrab saja. Liza pun terlihat nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Apalagi Tama, tak usah ditanya, ia terlihat begitu mengagumi gadis di depannya. Hari terus berlalu. Banyak cerita yang mereka bagi, mulai dari soal kuliah, sampai masalah pribadi. Liza mulai bimbang dengan hatinya. Ia senang saat HP nya berdering dan berharap itu dari Tama. Tetapi di satu sisi ia masih sangat teringat Bima, terutama saat sedang sendiri. Tama pintar membawa suasana. Perbincangan keduanya tak pernah singkat. Tentang apapun, tapi belum sekalipun membicarakan soal “mereka”.


Siang berganti malam, malam berganti siang. Begitu seterusnya. Dan email dari orang tak dikenal 3 minggu lalu semakin rajin singgah di inbox account gadis itu. Liza cukup penasaran dengan pemilik email itu. Semua email hanya berisi kalimat peyemangat dan sapaan sapaan ringan. Tapi satu hal, tak satupun email email itu ia balas.


26 januari 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#2

Hai.. selamat malami!


27 januari 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#3

Hai.. ohayoo!! Ganbatte.. :))


27 januari 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#4

Selamat malam...kenanglah hari ini, harimu menyenagkan bukan :))


29 januari 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#6

Sudah siang... makanlah selagi sempat... :))


29 januari 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#7

Hai.. selamat malami!


13 February 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#35

Tersenyumlah... hari ini akan indah... :))


17 february 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#50

Mimpi indah... Liza..


Kalian lihat?? Sekali lagi, tak ada tanda tanda email itu milik...Bima. Kecuali email ke 50. Bagaimana bisa orang itu menyebut namanya. Apakah orang itu kenal dengannya?? Apakah mereka pernah bertemu?? Dan...Apakah itu..Bima??? Ah..segalanya membuat situasi semakin runyam. Tama yang semakin perhatian, email yang semakin rajin datang, dan bunda yang memilih tak ikut campur dengan membiarkan anak gadisnya berfikir dewasa secara mandiri. Ya, Liza masih menyimpan rindunya untuk lelaki itu. Tama baik, ramah, sopan, periang. Tapi kehadirannya tak sepenuhnya bisa menghapus bayang Bma dari hidupnya. The feeling so strong, were lasting for so long.


19 February 2017


“Thanks God, It’s Sunday,,, :))”


Entah mengapa senyum Liza mengembang sempurna pagi itu. Bahkan ia bisa bangun lebih awal sebelum alarmnya berdering. Menakjubkan bukan. Entah setan apa yang merasukinya, atau dapat ilham apa semalam dalam mimpi nya, tak seorangpun tahu.


Liza sedang menarik sebuah kursi makan pertanda bersiap memasok energinya pagi itu, saat tiba tiba ponsel di tangannya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal tersemat di layar. Liza ragu, namun diangkatnya juga. Jantungnya berdebar hebat. Sebuah suara yang sangat ia kenal, terdengar dari speaker ponselnya. Hampir saja ponsel itu jatuh dari genggamannya.


Penelfon :

“Hai.... Selamat pagi... aku tahu kaw tak sabar ingin sarapan.. jangan tergesa gesa. Ah.. kaw semakin manis saja.. apalagi dengan baju warna merah yang kaw kenakan saat ini... kaw tahu?? Aku suka... .

To : blueOcean@yahoo.com

From : grey_soul@yahoo.com “


Liza hanya terdiam selama penelfon itu berbicara. Lidahnya kelu. Perasaannya tak menentu. Perlahan ia mulai meninggalkan ruang makan, dan dengan jantung masih berdebar menuju halaman rumah. Benar saja, tak sedikitpun bisa ia percaya pandangan matanya. Debar itu sangat khas, Liza bisa rasakan itu. Tak sedikitpun ia teringat Tama. Berulang kali ia yakinkan dirinya bahwa ini nyata. Bima, berdiri di halaman rumah, tersenyum lebar, masih dengan ponsel di tangannya dan berkata, “Hai...Liza”


Ia tatap lekat - lekat lelaki yang telah cukup lama ( tak benar – benar ) menghilang tanpa jejak itu. Lelaki yang sangat ia rindukan, lelaki yang ia yakin akan datang kembali. Ya..lelaki yang tak sepenuhnya hilang. Email Itu, grey_soul@yahoo.com, milik bima...


“Tell me what i’m feeling isn’t some mistake... cause,i believe that good things come to those who wait..especially...LOVE”, ucap Liza lirih.


END

Senin, 18 Juli 2011

Mereka....Disana

Semesta semakin gelap
Terlalu gelap bagi hidupnya yang telah suram

Harapannya terlanjur pupus
Seiring nafas yang semakin sesak

Tak ada lilin.. apalagi lentera

gelap, kawan! benar benar gelap..

Tak disadari,
seluruh tubuhnya telah pasrah pada bumi

Ia ingin sekali beranjak,
sayang... gravitasi terlalu kuat baginya

Tubuh itu tak berdaya
Ia lemah... dan semakin lemah

Huffffff....

Kalian tahu??
Ia telah mati, kawan.... mati...
masih dengan surat dalam genggaman...untuk anaknya



Kanvas Kosong

Jarum jam menunjukkan pukul 13.00. Kalian tahu? Kota jogja telah banyak berubah. Setidaknya itu yang dikatakan para sesepuh. Bahkan anak muda kemarin sore yang jelas jelas tak hidup di jaman bapaknya pun, mengatakan hal yang sama. Jogjakarta berubah. Entah semakin baik, atau sebaliknya. Simpulkan sendiri saja.


Krincing...krincing..krincing... bunyi dokar di sore hari membuat seorang gadis tersenyum. Kata neneknya, dahulu suara dokar tak tercampur dengan deru knalpot. Menenteramkan. Kalian tahu apa yang membuat sang gadis tersenyum? Deru knalpot dengan kejam menelan suara nyaring lonceng dokar yang menentramkan itu, kawan. Tak lama ia sedikit tertawa, lalu tersenyum lagi. Senyum itu tak lebar. Simpul saja. Cukup.


Liza namanya. Mahasiswi semester akhir jurusan antropologi di sebuah universitas terkenal di Indonesia. Keretanya baru tiba tadi pagi. Pukul 4 dini hari tepatnya. Seseorang tak di kenal menepuk pundaknya dan berkata , “mb.. tangi mb... wes tekan iki lo..mbak...mbak e.... “. Suara itu Liza dengar sayup – sayup, di saat nyawanya belum seratus persen terkumpul. Saat orang tadi mengulangi ucapannya dengan nada yang sedikit lebih keras, baru ia bangun dengan ekspresi muka yang sedikit aneh.


Rumahnya tak susah untuk ia temukan. Bertahun – tahun hidup di kota orang, tak membuatnya lupa jalan pulang. Mungkin hanya itu yang tak berubah dari Jogjakarta. Sesampainya di rumah, sang bunda tak henti – hentinya memeluk dan menciumi pipinya. “ealah ndukk.... Ibu kangen banget karo koe.. wes pirang taun awakmu ora bali?? piye kabarmu neng kono??? Kok kuru banget koe saiki.. kuliahmu abot po piye???”. Pertanyaan bertubi – tubi itu tak kunjung usai, padahal belum satupun sempat ia jawab. Liza hanya bisa tersenyum sembari menatap sang bunda. Senyuman paling manis yang bisa ia persembahkan, dipadu tatapan mata yang penuh oleh rindu. Ya... tak bisa dipungkiri...Ia rindu bundanya. Rindu sekali. Sejurus kemudian, keduanya saling berpeluk, erat.


21 Januari 2017


Suara azan subuh berkumandang, indah sekali. Entah siapa muadzinnya. Liza mencoba beranjak dari tempat tidur, dengan sedikit malas tentunya. Air wudhu terasa sangat dingin di wajahnya, tapi cukup untuk mebuat ke dua matanya terbuka sempurna. Sholat wajib pagi itu ia lakukan di mushola keluarga, dengan khusuk.


Selepas sholat, matanya tak lagi bisa terpejam. Air tadi cukup ampuh menghilangkan kantuknya. 3 jam kemudian, bersama ayah, bunda, dan kedua adiknya, sarapan pagi terasa sangat menyenangkan. Sudah lama lidahnya tak menyentuh masakan sang bunda. Segalanya pagi itu membuat hatinya tenang, setidaknya untuk saat itu.


Pukul 10 pagi, rumahnya lenggang. Ayah dan bundanya bekerja, kedua adiknya tak perlu ditanya, tentu saja ada di bangku sekolah. Rumah sederhana itu terasa sedikit sepi. Liza duduk di runag tengah, tak tahu apa yang ingin ia lakukan. Matanya beredar ke mana saja, mencoba menemukan sesuatu. Tak lama, sebuah taman di belakang rumah mengusik rasa ingin tahunya. Ia beranjak dari tempatnya duduk, dan berpindah ke bangku taman. Taman ini cukup indah, pikirnya. Tiba – tiba ia ingin melakukan sesuatu. Sesuatu yang telah menjadi kegemarannya sejak kecil. Melukis. Ya ... melukis. Ia suka sekali lukisan.


Tak butuh waktu lama, sebuah kuas dan selembar kanvas telah siap di antara bunga bunga taman. Tangannya dengan mantap meraih sebuah kuas dan sejengkal lagi kuas itu menyentuh kanvas. Cukup lama ia gantungkan kuas itu. Tiba – tiba saja fikirannya tak jelas. Tak tahu apa yang ingin di lukisnya. Lambat laun tangan itu menyerah, turun menyejajarkan posis dengan tubuhnya.


Raganya memang di jogjakarta, tapi fikirannya tidak. Seseorang di luar sana telah mengusiknya. Seseorang yang sangat ia sayangi, seseorang yang dengan mati matian ia pejuangkan untuk tetap disisinya. Seseorang yang mengajarinya tetap tersenyum di depan yang lain, walau saat itu hatinya hancur. Seseorang yang selalu ia rindukan, tapi sekuat hati mencoba untuk tak diingatnya. Seseorang yang ingin sekali ia lukis.. tapi bahkan ingatannya tak cukup sanggup untuk melukiskan wajah itu. Terlalu buram, terlalu kabur, terlalu absurd. Terlalu sulit kawan, terlalu berat.


7 tahun mereka bersama, Liza dan dia. Cobaan apapun telah banyak mereka lalui. Tapi sejak 5 bulan yang lalu, kekasihnya menghilang tanpa jejak. Entah ke mana, Liza pun tak tahu. Enggan untuk berspekulasi. Waktu berjalan sesuai dengan semestinya. Sekuat tenaga ia yakinkan hati, bahwa seseorang itu belum pergi. Seseorang itu hanya sedang mencari udara segar, di tempat yang tak ia ketahui. Dengan penuh kesabaran, ia selalu berkata “hatiku masih, dan akan tetap masih..sampai kapanpun...dihatinya...masih...yaa.....masih!!” Kalian tahu? Tak banyak yang bisa ia lakukan. Sms saja tak sampai, apalagi telepon, selalu operator seluler yang menyapa. Di saat seperti itu, Liza masih menyimpan harapannya, walau tak banyak. Ia pernah mendengar seorang penyiar radio mengatakan pada pendengarnya bahwa saat paling dilematis adalah ketika kita tahu mungkin inilah saatnya menyerah, tapi hati masih tak rela untuk berhenti berharap dan mencoba percaya akan datangnya secercah keajaiban.


Waktu telah lama berlalu, dan ia masih saja berdiri terpaku di depan kanvas, mencoba untuk mengingat wajah itu. Liza bukanlah tipe gadis yang suka menangis, jarang sekali air matanya tumpah, apalagi hanya soal cinta. Tapi yang satu ini, ia benar – benar tak bisa membendungnya. Setetes demi setetes, hujan itu turun dari sudut gelap matanya. Awalnya hanya gerimis, lamban laun berubah menjadi hujan lebat. Pelan pelan, kakinya tak mampu lagi menopang tubuh itu. Pertahanannya runtuh. Liza terduduk lemas di depan kanvas yang belum basah, sembari menutup muka dengan kedua tangannya. Ia hanya bisa menangis. Itulah pertama kalinya sejak 5 bulan yang lalu.


Tanpa ia sadari, sang bunda telah berdiri di sampingya. Tak kuasa menahan, segera saja ia peluk adindanya. Cukup lama keduanya seperti itu, dan tangis Liza belum juga reda. Sejurus kemudian, bundanya berujar, “ Menangislah... sepuasmu... tapi jangan kaw paksa untuk mengingatnya jika memang kaw tak mampu. Lukislah saja Ibumu nak... Lukis Ibu... sungguh, Ibu ingin raut tua ini tercetak di kanvas itu, dengan tangan lembutmu”