Bunda mulai menyusuri setiap jengkal lantai kamar anaknya dan berhenti tepat di depan tirai jendela. Tanpa ragu, beliau sibakkan tirai itu sekuat mungkin sehingga sinar pagi dapat menembus ruangan anaknya tanpa bisa dielakkan. Awalnya Liza tak bereaksi, tapi tak butuh lebih dari 3 menit tubuhnya mulai menggeliat sembari memicingkan mata, berusaha menghindar dari sinar yang tepat mengarah ke matanya, menyilaukan. Sembari mengumpulkan nyawa, ia edarkan matanya dan mendapati sang bunda berada di salah satu sudut kamar. Liza lihat bundanya tersenyum dan berkata, “ tangi nduk, wes jam piro iki?? Siram trus sarapan.. Bunda uda buat masakan kesukaan kamu”.
Di meja makan, Liza menyantap makanan kegemarannya dengan lahap. Sang bunda tetap saja hanya bisa tersenyum melihatnya. Ruang makan itu tak terlalu luas, tetapi cukup untuk meja dengan 6 kursi. Desain ruangan minimalis, dengan 2 figura tergantung di sisi yang saling berhadapan. Tak banyak ornamen yang terpampang di sana. Salah satu dari 2 figura itu berisi lukisan bundanya yang Liza buat 3 hari lalu, tentu saja atas permintaan tulus dari beliau. Kalian tahu itu.
Hari itu Liza berencana ke toko buku. Entah berujung di kasir atau tidak, ia cukup senang hanya dengan melihat tumpukan buku berbagai cover. Toko itu tak terlalu ramai saat dirinya tiba di sana, tapi juga tak cukup jika ia hitung dengan jari tangannya saja. Selain suka melukis, tak perlu ditanya, Liza bisa menghabiskan waktu berjam jam di toko buku, walaupun sekali lagi,.. ditekankan,.. tanpa membeli... sebuah bukupun!
Saat sedang asyik menbolak – balik halaman sebuah buku yang segel plastiknya memang sudah terlepas, seseorang memanggilnya pelan dari belakang. Suara itu sedikit mengandung keraguan, seolah memastikan apakah yang disapanya adalah orang yang tepat. Liza terdiam sesaat. Hatinya pun ragu, tapi merasa tak asing dengan suara itu. Perlahan, ia balikkan badan dan mendapati sosok laki laki tampan dengan postur tubuh yang proporsional. Tak terlalu tampan sebenarnya, tapi cukup manis dan menyejukkan. Untuk beberapa menit ia masih ragu dengan pandangan matanya, dan berusaha memutar memori secepat mungkin. Sementara itu, laki laki tadi mulai tersenyum, pertanda telah yakin dengan yang ia lihat.
“Liza...kamu benar liza kan???”.
“iyaaa...p... aku liza.. maaf... kamu syapa ya?? Mungkin aku yang lupa”, ujar Liza dengan penuh selidik.
“hhah.... iya zaa... gak papa... aku Tama. Ingat nggak??”, ucap laki laki tadi dengan nada yang semakin mantap.
Liza hanya terdiam dengan tetap mempertahankan senyum tanggungnya dan tentu saja tak berhenti berfikir. Melihat reaksinya yang seperti belum juga menemukan kepastian, laki laki tadi kembali berucap, “Tama zaa...Tama... temen smp kamu! Dulu aku emang gendut sekali... mungkin itu yang buat kamu lupa. Sudah ingat???”.
Lambat laun ingatan Liza pulih, dan sejurus kemudian memang benar benar pulih. Dengan cukup bersemangat ia menyambut senyum lebar teman lamanya itu, “ owww... tamaa... yayaya... aq ingat...ingat... ya ampun tamm... kok bisa kecilan gini sekarang?? Ngapain aja kamu?? Gak makan selama sebulan ya?? Mending kamu kasih aq aja lemak mu yang ada di mana mana itu...kamu lihat kan...aq masih aja cungkring... hhe”.
“haha...bisa aja kamu zaa... lama ya gak ketemu, kuliah di mana kamu sekarang??”
“ iya...lama banget. Aku kuliah dii,,, adalah...pokoknya jurusan antropologi, dan tentunya gak di jogja..hhe. Kamu??”
“oww,,, kamu kuliah di luar kota?? Aku si masih setia sama jogja . Aku ambil jurusan komunikasi.”
“hmm.... keren keren. Cocok kok ama style penampilan kamu yang sekarang, broadcasting bangeeettt....hhe... :))”, Liza berseloroh.
“hahahah....bisa aja kamu za. Liza...Liza”
Cukup lama keduanya bercakap – cakap. Terbilang akrab. Setelah dirasa cukup, Liza minta izin untuk mendahului pulang. Sebelum membiarkan gadis itu pergi, Tama tak absen meminta nomor Liza. Katanya si syapa tau ada perlu. Liza tersenyum saja mengdengarnya. Toh, masih teman lama, fikirnya.
Hari sudah sore saat Liza kembali ke kediamannya. Ibunya sedang asyik menonton infotimen, sedang ayahnya belum kembali dari tempat kerja. Kedua adik laki – lakinya asyik mengobrol di beranda belakang. Liza setengah berlari menuju kamarnya, mengambil laptop dan sebuah modem. Tak butuh waktu lama ia telah berada di sisi bundanya. Liza pun tenggelam cepat dalam dunia mayanya. Ya,, Liza suka sekali internet, terutama situs jejaring sosial. Jumlah teman di salah satu situs bahkan mencapai ribuan.
“ealaah... cah enom jaman saiki,” decak sang bunda menyaksikan anaknya tak bergerak berhadapan dengan sebuah benda kotak, kecuali mata dan jari tangan yang seirama silih berganti ke kanan dan ke kiri.
Pukul 9 malam, baru laptopnya bisa beristirahat. Andaisaja benda itu bisa berbicara, sudah pasti telah lemas dan kehabisan suara, karena meronta – ronta minta dimatikan.
26 Januari 2017
Pukul 13.00 sebuah hp berdering singkat namun cukup keras, ternyata milik Liza. Tanpa perlu dikomando, ia raih ponselnya dan mendapati sebuh nama terpampang di layar itu. Tama. Liza tersenyum mendapati nama itu. Pesan itu berisi pertanyaan apakah ia suda makan atau belum, jika belum, Tama ingin mengajaknya makan siang diluar. Bahkan Tama menawarkan diri untuk menjemputnya. Setelah menimbang sejenak, jempolnya memencet tombol replay, lalu menuliskan sebuah kalimat setuju dan beralih ke tombol ok. Pesan terkirim.
Sebelum berangkat, laptopnya masih menyala. Liza membuka email sebentar, syapa tahu ada pesan masuk. Liza cukup rutin menengok account miliknya itu. Awalnya ia yakin tak ada apa apa, tapi saat folder inbox terbuka, disana terdapat sebuah pesan dari alamat yang belum dikenalnya.
From : grey_soul@yahoo.com
To : blueOcean@yahoo.com
Subject : greeting#1