Senin, 18 Juli 2011

Kanvas Kosong

Jarum jam menunjukkan pukul 13.00. Kalian tahu? Kota jogja telah banyak berubah. Setidaknya itu yang dikatakan para sesepuh. Bahkan anak muda kemarin sore yang jelas jelas tak hidup di jaman bapaknya pun, mengatakan hal yang sama. Jogjakarta berubah. Entah semakin baik, atau sebaliknya. Simpulkan sendiri saja.


Krincing...krincing..krincing... bunyi dokar di sore hari membuat seorang gadis tersenyum. Kata neneknya, dahulu suara dokar tak tercampur dengan deru knalpot. Menenteramkan. Kalian tahu apa yang membuat sang gadis tersenyum? Deru knalpot dengan kejam menelan suara nyaring lonceng dokar yang menentramkan itu, kawan. Tak lama ia sedikit tertawa, lalu tersenyum lagi. Senyum itu tak lebar. Simpul saja. Cukup.


Liza namanya. Mahasiswi semester akhir jurusan antropologi di sebuah universitas terkenal di Indonesia. Keretanya baru tiba tadi pagi. Pukul 4 dini hari tepatnya. Seseorang tak di kenal menepuk pundaknya dan berkata , “mb.. tangi mb... wes tekan iki lo..mbak...mbak e.... “. Suara itu Liza dengar sayup – sayup, di saat nyawanya belum seratus persen terkumpul. Saat orang tadi mengulangi ucapannya dengan nada yang sedikit lebih keras, baru ia bangun dengan ekspresi muka yang sedikit aneh.


Rumahnya tak susah untuk ia temukan. Bertahun – tahun hidup di kota orang, tak membuatnya lupa jalan pulang. Mungkin hanya itu yang tak berubah dari Jogjakarta. Sesampainya di rumah, sang bunda tak henti – hentinya memeluk dan menciumi pipinya. “ealah ndukk.... Ibu kangen banget karo koe.. wes pirang taun awakmu ora bali?? piye kabarmu neng kono??? Kok kuru banget koe saiki.. kuliahmu abot po piye???”. Pertanyaan bertubi – tubi itu tak kunjung usai, padahal belum satupun sempat ia jawab. Liza hanya bisa tersenyum sembari menatap sang bunda. Senyuman paling manis yang bisa ia persembahkan, dipadu tatapan mata yang penuh oleh rindu. Ya... tak bisa dipungkiri...Ia rindu bundanya. Rindu sekali. Sejurus kemudian, keduanya saling berpeluk, erat.


21 Januari 2017


Suara azan subuh berkumandang, indah sekali. Entah siapa muadzinnya. Liza mencoba beranjak dari tempat tidur, dengan sedikit malas tentunya. Air wudhu terasa sangat dingin di wajahnya, tapi cukup untuk mebuat ke dua matanya terbuka sempurna. Sholat wajib pagi itu ia lakukan di mushola keluarga, dengan khusuk.


Selepas sholat, matanya tak lagi bisa terpejam. Air tadi cukup ampuh menghilangkan kantuknya. 3 jam kemudian, bersama ayah, bunda, dan kedua adiknya, sarapan pagi terasa sangat menyenangkan. Sudah lama lidahnya tak menyentuh masakan sang bunda. Segalanya pagi itu membuat hatinya tenang, setidaknya untuk saat itu.


Pukul 10 pagi, rumahnya lenggang. Ayah dan bundanya bekerja, kedua adiknya tak perlu ditanya, tentu saja ada di bangku sekolah. Rumah sederhana itu terasa sedikit sepi. Liza duduk di runag tengah, tak tahu apa yang ingin ia lakukan. Matanya beredar ke mana saja, mencoba menemukan sesuatu. Tak lama, sebuah taman di belakang rumah mengusik rasa ingin tahunya. Ia beranjak dari tempatnya duduk, dan berpindah ke bangku taman. Taman ini cukup indah, pikirnya. Tiba – tiba ia ingin melakukan sesuatu. Sesuatu yang telah menjadi kegemarannya sejak kecil. Melukis. Ya ... melukis. Ia suka sekali lukisan.


Tak butuh waktu lama, sebuah kuas dan selembar kanvas telah siap di antara bunga bunga taman. Tangannya dengan mantap meraih sebuah kuas dan sejengkal lagi kuas itu menyentuh kanvas. Cukup lama ia gantungkan kuas itu. Tiba – tiba saja fikirannya tak jelas. Tak tahu apa yang ingin di lukisnya. Lambat laun tangan itu menyerah, turun menyejajarkan posis dengan tubuhnya.


Raganya memang di jogjakarta, tapi fikirannya tidak. Seseorang di luar sana telah mengusiknya. Seseorang yang sangat ia sayangi, seseorang yang dengan mati matian ia pejuangkan untuk tetap disisinya. Seseorang yang mengajarinya tetap tersenyum di depan yang lain, walau saat itu hatinya hancur. Seseorang yang selalu ia rindukan, tapi sekuat hati mencoba untuk tak diingatnya. Seseorang yang ingin sekali ia lukis.. tapi bahkan ingatannya tak cukup sanggup untuk melukiskan wajah itu. Terlalu buram, terlalu kabur, terlalu absurd. Terlalu sulit kawan, terlalu berat.


7 tahun mereka bersama, Liza dan dia. Cobaan apapun telah banyak mereka lalui. Tapi sejak 5 bulan yang lalu, kekasihnya menghilang tanpa jejak. Entah ke mana, Liza pun tak tahu. Enggan untuk berspekulasi. Waktu berjalan sesuai dengan semestinya. Sekuat tenaga ia yakinkan hati, bahwa seseorang itu belum pergi. Seseorang itu hanya sedang mencari udara segar, di tempat yang tak ia ketahui. Dengan penuh kesabaran, ia selalu berkata “hatiku masih, dan akan tetap masih..sampai kapanpun...dihatinya...masih...yaa.....masih!!” Kalian tahu? Tak banyak yang bisa ia lakukan. Sms saja tak sampai, apalagi telepon, selalu operator seluler yang menyapa. Di saat seperti itu, Liza masih menyimpan harapannya, walau tak banyak. Ia pernah mendengar seorang penyiar radio mengatakan pada pendengarnya bahwa saat paling dilematis adalah ketika kita tahu mungkin inilah saatnya menyerah, tapi hati masih tak rela untuk berhenti berharap dan mencoba percaya akan datangnya secercah keajaiban.


Waktu telah lama berlalu, dan ia masih saja berdiri terpaku di depan kanvas, mencoba untuk mengingat wajah itu. Liza bukanlah tipe gadis yang suka menangis, jarang sekali air matanya tumpah, apalagi hanya soal cinta. Tapi yang satu ini, ia benar – benar tak bisa membendungnya. Setetes demi setetes, hujan itu turun dari sudut gelap matanya. Awalnya hanya gerimis, lamban laun berubah menjadi hujan lebat. Pelan pelan, kakinya tak mampu lagi menopang tubuh itu. Pertahanannya runtuh. Liza terduduk lemas di depan kanvas yang belum basah, sembari menutup muka dengan kedua tangannya. Ia hanya bisa menangis. Itulah pertama kalinya sejak 5 bulan yang lalu.


Tanpa ia sadari, sang bunda telah berdiri di sampingya. Tak kuasa menahan, segera saja ia peluk adindanya. Cukup lama keduanya seperti itu, dan tangis Liza belum juga reda. Sejurus kemudian, bundanya berujar, “ Menangislah... sepuasmu... tapi jangan kaw paksa untuk mengingatnya jika memang kaw tak mampu. Lukislah saja Ibumu nak... Lukis Ibu... sungguh, Ibu ingin raut tua ini tercetak di kanvas itu, dengan tangan lembutmu”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar