Kamis, 24 November 2011

Episode #15


Jalan ini lenggang
Kita mulai berjalan beriringan

Tak ada genggaman tangan
Hanya senyum dan tawa yang berderai

Di sisi kananmu
mendung memilih jauh

Seirama goresan penamu, kaw rangkai episode baru di bukuku
Di lembar yang tak kalah baru

Di sisi kirimu
Segelas kopi masih pahit dilidah
Tak peduli berapa sendok gula kaw larutkan

Kaw...

Tak hanya mengisi lembar lembar bersih itu
Sesekali kaw tengok laman laman hitam

Menyeret mendung kembali pulang

#

Jalan masih lenggang
Tetap hanya ada kita

Tak lama kaw tarik diriku ke bangku usang
Masih dengan senyum dan tawa

Dalam senyap sejenak
Kaw mulai beranjak

Mengajak ku kembali meniti

#

Trung..Trung..Trung...
Kelereng kelereng berjatuhan mencipta ritme

Senyumku mulai simpul
Tawa mu melemah

Di persimpangan,
Kuhentikan langkahmu,
Untuk ku bubuhkan tanda tanya,
Pada naskah yang belum kaw pungkaskan.

#

Dering ponsel menyalak halus
Mengurai namamu pada layarku

Dalam hening kubaca pesanmu
Memelukku hingga sesak

Sekilas aku ingat bukuku
Yang kaw beri tanda jeda setelah baris terakhir

Tak ada yang lain
Tak ada...

Hanya masih
Masih...

Kaw paksa diriku
Membuka laman demi laman dengan caramu
Dan mengisi lembar lembar baru
Masih dengan caramu

Tapi Aku...

Masih...
Dan juga masih...

Bertahan dengan caraku

#

Kaw sadar?
Jalan kita mulai berat

Di suatu sore saat senja turun
Kubaca pesanmu kembali
Untuk ku hapus kemudian..

#

Pada sebuah helaan nafas
Terhempas sebuah tanya klasik

“would you let me be my self?”

 US.. does not mean ‘US’

Selasa, 08 November 2011

Surat...Dari Saat Ini... Untuk Esok


Setetes embun dari rintik sisa senja
Mengalir pelan lewat kopi yang kusajikan sendiri

Lirih terhirup
Dan lembut tercecap
Sebagaimana seyogyanya sebuah kisah kumaknai

Tak salah
Hanya lembaran kosong yang mulai sarat goresan
Dan mungkin lusuh kemudian

Lusuh karena tetap kusimpan
Rusak berserakan
Dan kumal oleh waktu

Sejenak.. derai tawa sederhana mengiringi sebuah tegukan

Tak perlu sesal
Suatu ketika kan ku tunjukkan

Pada mereka yang mulai tumbuh dewasa
Pada ia yang selalu berucap 'selamat pagi'
yang tak alpa mengecup keningku seiring sentuhan fajar

Lebih???
Tidak..

Sungguh..

Hanya secuil impian sederhana
yang baiknya kusimpan sendiri

Dari ku
Untuk (calon) mereka
Untuk (calon) ia
Dan untuk kopi yang telah kutandaskan bersama malam

Penat


Semuanya...

Terasa Lebih Baik

Saat Hujan Turun

DI keheningan

Malam ini.............



*Ya Allah.... maafkan aku.

Percakapan Apik (diambil dari buku 'Madre'-DEE)


“Tenang aja. Kamu kan pasti uda punya SOP (standart operating prosedure) nya.”

Starla menggeleng. “Biar endingnya sama, respon mereka beda – beda. Ada yang gentleman, ada yang tahu tahu nangis semalam suntuk, ada yang ngambek terus banting – banting barang. Aku nggak pernah tahu pasti, Che. Nggak ada SOP untuk menghadapi yang beginian.”

“Dan kamu tetap aja nggak kapok – kapok.”

Posisi duduk starla langsung menegak. “kami dua orang dewasa yang bisa tanggung jawab atas keputusan masing masing, oke? Apa salahnya saling suka, jatuh cinta, mencoba – coba? Semua yang di dunia ini juga dilewati pakai proses itu. Mau pilih mobil kek, mau pilih baju....”

“kalau kita tahu pasti apa yang kita mau, ngapain buang – buang energi buat coba – coba? Masalahnya, kamu nggak pernah tahu yang kamu mau.”

Starla memilih diam.

 -------------------------------------------------------------------------------------------

“Suatu saat nanti, aku akan punya rumah sendiri, di atas gunung,” tutur Starla sambil memandangi refleksi cahaya yang membuat anggur putihnya tampak berbutir – butir emas. “Aku akan punya suami yang baik dan setia. Kami punya dua orang anak yang lucu – lucu.. Satu laki – laki, dan satu perempuan..”

Spontan tawaku menyembur. “Ternyata, di balik kecanggihanmu, mimpimu super standar. Tampilan aja milenium, isinya maemunah.”

“Masih lebih bagus dari pada manusia nggak punya mimpi kaya kamu.”

“Aku punya mimpi!” balasku cepat. “Aku bakal jadi arsitek spesialis gedung pencakar langit nomor satu di negeri ini. Nanti rumahku berhalaman luas, di pinggir jakarta, dan...” mataku memandang jauh ke tempat yang cuma aku yang tahu, “ada seorang istri cantik yang jago masak. Anak kami laki – laki, cerdas, jago main game. Istriku bawa sepiring kue buatan sendiri yang masih panas, memanggil manggil aku dan anakku yang keasyikan main game...” ocehanku berhenti. Apa yang baru saja ku katakan?

Strala tersenyum lebar. “Tampilan Supermen, isinya suparman,” komentarnya.

Aku melengos. “Setidaknya aku bisa menghargai perasaan orang.”

“Kamu pikir aku nggak bisa?”

Sebelum kuutarakan unek unek yang sudah menahan bergantung di kepala, kutandaskan sisa anggur di gelas. Biar nanti kujadikan fermentasi anggur kupas ini kambing hitam yang merusak persahabatanku dengannya.

“gini analoginya. Aku suka lukisan. Tapi untuk punya satu, aku bakal berkunjung ke puluhan galeri dulu, baru menentukan pilihan. Nah, kamu itu kolektor. Kamu borong apa saja yang kira kira bagus, tapi bukan untuk dimiliki. Kamu jual lagi barang barang berharga itu kaya dagang sembako.”

“kamu lagi ngomongin apa, sih, sebenarnya?”

“Aku lagi bicara soal Rako, lalu si produser rekaman, si gitaris, kontraktor, foto model, aktor sinetron, atlet basket, dosen, pengacara, pengusaha restoran, sampai gay yang mau jadistraight demi kamu. Mereka bertekuk lutut demi kamu bawa pulang. Tapi semuanya lewat begitu aja barang dagangan. Kamu ngak mau memiliki dan dimiliki siapapun. Tapi kenapa terus mencari dan menyakiti orang?” Dadaku samar naik turun karena semua kalimat tadi kuucapkan tanpa mengambil nafas. Tinggal menunggu Starla menyemprot balik.

Namun wajah cantik itu malah terlihat melunak. Pandangannya dibuang ke jendela. “Aku juga bingung apa yang sebenarnya ku cari.” Jawabnya lirih, kemudian menoleh padaku. “Yang jelas aku nggak kayak kamu. Bertahan dalam kesepian.”

Aku nyaris keselak. “kesepian? Hei...”

“Selama ini kamu pikir apa artinya hidup kamu yang konstan kaya mesin pabrik? Lagu – lagu pembangkit mood yang kamu racik kayak apoteker bikin obat? Kamu kesepian.”

Mulutku seperti dikunci.

Starla dengan tenang melanjutkan, “Hidup kayak robot adalah satu satunya cara yang kamu tahu untuk melindungi dirimu dari sepi. Kamu takut spontanitas. Kamu takut lepas kendali. Kamu ingin cinta, tapi takut jatuh cinta. But you know what? Kadang – kadang kamu harus terjun dan jadi basah untuk tahu air, Che. Bukan cuma nonton di pinggir dan berharap kecipratan.

Rahangku terasa mengeras, susah payah menelan omongan itu. Lama aku diam. Otakku berfikir dan berputar.


“Oke, Miss Freud, saya juga punya analisis tentang kamu, “ diafragmaku mengencang mengambil ancang ancang. Selama ini, kamu mengisi kekosonganmu dengan sibuk mengisis kekosongan orang lain. Saking kamu sibuk sendiri, mereka nggak pernah diberi kesempatan untuk mengisimu balik. Jadi wajar aja kalo nggak satupun dari mereka bisa memuaskan kamu. Kamu selalu merasa ada yang kurang. Tadinya saya pikir dunia ini nggak adil, Starla. Ternyata saya salah. Dunia ini adil. Cause you know what? Kemana mana kamu selalu kelihatan berdua. Tapi sebenarnya kamu sendiri. Selalu sendiri.”

Kening Starla berkerut mendengarnya.

“Nah, kembali ke analogimu tentang air itu,” aku tersenyum, “kamu memang terjun ke air. Tapi kamu pakai baju selam.” Tandasku puas.

Sesuatu menggugahnya. Ekspresi Starla mulai berubah. “Kamu benar. Ternyata kita sama, Che. Aku dan kamu sama sama manusia kesepian. Bedanya, aku mencari, kamu menunggu,” ucapnya lirih.

Tangannya tiba tiba meraih tanganku, hangat..