Minggu, 26 Juni 2011

Jasa Sesal

Ia seorang gadis. Ia tak cantik. Ia dia juga tak kaya. Ia terlihat berkepribadian terbuka, walau introvertisme tak jarang hinggap padanya. Gadis ini menyukai sesuatu berbau sederhana, walau nyatanya ia cenderung berfikiran kompleks. Sedikit ironis memang, tapi yaa,,,, begitulah. Mungkin memang ada tipe manusia jenis ini. Entahlah apa namanya, aku pun tak tahu. Bisa jadi justru tak bernama.

Tertanggal 9 januari, salah seorang temannya berulang tahun. Beberapa bait kalimat tersusun rapi di pesan singkat yang muncul di layar HP nya. Ia diminta datang di sebuah kafe jam 4 sore hari itu juga. Sedikit kaget, namun setelah itu ku lihat ia tersenyum. Tak lebar memang, namun cukup... untuk meraih gelar tersenyum.

Tak terasa ia telah larut dalam hingar bingar perbincangan panjang di sebuah meja berkursi 20 yang kesemuanya ber-tuan. Ia duduk di kursi ke 7, menurut hitunganku. Entah hitunganmu. Suasana kafe sungguh ramai, yang sesungguhnya biasa saja sebelum rombongan itu datang. Di ujung ruangan tergantung sebuah speaker mengeluarkan bunyian apapun. Semua tamu undangan si empu acara larut dalam percakapan tak tentu arah. Tak ada yang menaruh perhatian pada si speaker. Kasian sekali.

Si gadis tak luput ada di larutan perbincangan tersebut, namun lambat laun ia mulai lelah. Ia sandarkan bahu dan mulai menjauhi suasana mainstream. Ia tinggalkan arus yang ada dan mencoba terfokus pada sebuah suara. Suara si speaker. Alangkah bahagianya si speaker. Benda kotak itu menyalurkan bunyi radio dari ruangan belakang. Radionya memang biasa saja,namun isi radio membuatnya berfikir dan bergumam.......tentang sesal...

Ya.. Si gadis berfikir tak ada insan di dunia ini yang ingin menyesal. Semuanya ingin kesempurnaan, tanpa cacat. Memang, Impossible is nothing. Tapi rasanya cukup mustahal untuk soal yang satu ini. Hampir semua orang pernah merasakan sesal. Andai saja sesal ada di awal.. kata salah seorang teman gadis itu beberapa hari yang lalu.

Ia merasa sesungguhnya sesal hanya seiris luka di hati yang sedang belajar tumbuh. Sesal bisa hilang kapan saja kita mau. Namun sayang, sebagian orang bukan membiarkannya dibalut campuran obat harapan dan optimisme, tapi justru memeliharanya tetap terbuka dan terluka. Sesal yang tetap terbuka tak jarang melebar dan tentu saja akan sulit untuk diobati. Sedang sesal yang terobati akan merajut jaring – jaring keelokan serta kekuatan. Menjadi hati yang tak tergoyahkan

Sesal itu netral, gumam sang gadis untuk ke dua kalinya. Tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Sesal bisa sangat sangat merugikan, namun juga tak jarang begitu menguntungkan. Tanpa disadari, sesal lah yang menggiring kita menjadi dewasa. Sesallah yang menunjukkan pada kita jalan mana yang seharusnya di ambil. Sesal jugalah yang membuat hidup kita berwarna, dinamis. Sesal sanggup mendatangkan senyum simpul, pejaman mata sesaat, bahkan tawa. Walau tak bisa dipungkiri sesal lebih suka menghadiahkan air mata. Tapi kemudian sang gadis mencoba mengigatkan bahwa jika kita maw, air mata itu bisa berubah menjadi sebuah senyum kepuasan. Rasanya kesuksesan yang diraih dengan sesal terlebih dahulu akan jauh lebih nikmat dan tak terlukiskan ,dari pada senyum terkembang tanpa awalan senyum simpul, begitu fikirnya.

Tanpa sesal, kita tak akan berusaha mengejar ketertinggalan. Tanpa sesal, terkadang tak tercipta kompetisi. Tanpa sesal, kita tak lebih bijak memilih jalan yang benar. Dan dengan sesal, kita mencoba lebih menghargai orang lain.

Tak masalah sesalkan sebuah pertemuan, tapi segera balut dengan pertemuan perbaikan. Boleh saja kita sesalkan sebuah kenangan, sebagai motivasi membuat kenangan yang lebih indah. Terkadang menyesalkan sebuah perpisahan itu perlu, sebagai dasar menghargai sebuah pertemuan. Tapi tetap ingat, tak ada yang abadi. Perpisahan akan selalu terjadi. Masing masing dari kita akan mati,.pada saatnya.. mungkin di suatu fajar, ucapnya lirih sembari tersenyum simpul.

Inti dari semua itu.............sesal tak selamanya buruk

Tiba – tiba tepukan sebuah tangan di bahu sang gadis membuyarkan lamunannya. Tak dia sadari si speaker sudah tak bersuara. Sejurus kemudian matanya mulai beredar, dan teman – temannya masih riuh bercengkerama. Si empu tangan masih terdiam, walau telapak tangannya belum lepas dari pundak sang gadis. Tak lama, gadis itu menyambut si empu tangan dan menoleh sembari tersenyum padanya.

Dirasa cukup, dia mengundurkan diri lebih awal di pesta itu. Kembali ke rumah diantar seseorang yang sungguh ia sayangi. Seseorang yang baru ia temukan setelah melalui jalan yang berliku. Lagu sheila on 7 mengalun indah di kendaraan keduanya “...there's always a way for love, but sometimes not on the same road.....


Sabtu, 25 Juni 2011

Dari Roman Bumi Manusia

Buku ini adalah salah satu buku yang aku sukai. Aku suka setiap bacaan yang didalamnya terselip beberapa baris kalimat tentang kehidupan. Bumi Manusia adalah roman terkenal milik penulis ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dibawah ini beberapa baris kalimat yang aku suka...selamat membaca.. :)

  • Manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas.

  • Ikut dengan pendapat umum yang salah juga salah. Kita akan ikut mengadili sesuatu yang mungkin lebih baik dari pada hakimnya sendiri.
  • Cinta itu indah, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini.
  • Cinta itu indah, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.
  • Tak ada cinta muncul mendadak, karena dia adalah anak kebudayaan, bukan batu dari langit.
  • Kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya suatu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauan baiknya.
  • Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima.
  • Setiap orang pernah bahagia, walaupun pendek dan sedikit.
  • Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa - apa.
  • Melawan pada yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.
  • Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian hanya tinggal hewan yang pandai.
  • eorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Jumat, 24 Juni 2011

Dari Ujung Kapal Feri

Aku berdiri di sana...

di sudut yang paling aku suka

kaw tahu, cahaya itu indah sekali kawan...

Memantulkan sinarnya pada laut yang tenang..

mengingatkan ku pada lukisan anak manusia di bangku sekolah dasar...

huff...Angin itu polos sekali...

Memelukku erat seolah tak maw aq pergi...

Sayup sayup telinga ku menangkap riuh rendah nyanyian di dalam bangku kapal..

Satu hal yang membuatku rindu saat ini....

Mungkin memang perjalanan kita tak sempurna,,,

tapi cukup untuk menorehkan seulas senyum dibibirku..

Atau mungkin sesungguhnya kita tak sejalan...

tetapi nyanyian dan gitar itu cukup untuk menyatukan tangan kita walau mungkin sesaat...

Dan kaw tahu kawan...

aku rindu gelak tawa kalian...

gelak tawa kebodohan...

kebodohan yang kita akui tanpa benci...

kebodohan yang membuat kita tertawa seirama...

ah...iya...hampir aku melupakan satu hal...

Mungkin tak penting untukmu, tapi sebuah senyum untukku..

Kaw ingat.. aku berusaha menuliskan namanya d pasir pantai itu,..

tapi sang ombak lebih cepat datang untuk menghapusnya sebelum selesai ku torehkan...

kaw fikir aku benci pada ombak itu??

kaw salah... aku lebih ingin menjabat tangannya..

Berterimakasih padanya...

Life is Unpredictable

Kelas ini monoton sekali, fikirku pagi ini. Padahal, semangatku baru saja pulih. Bosan mendengar dosen berkicau, ku corat coret kertas binder ukuran sedang di hadapanku. Entah apa yang ku tulis. Teman disebelahku sudah sejak tadi menguap. Tak berbeda dengan teman di sebelahnya lagi. Menguap juga. Ah, benar benar awal yang suram. Karena sudah tak sabar, kuputuskan keluar ruangan menuju toilet. Setelah itu langkahku berbelok ke bangku panjang di tengah loby kampus yang cukup lenggang.

Sudah 10 menit ku duduk di bangku itu, sembari menghirup udara segar pagi ini. Tak lama, tiba – tiba hp ku bergetar, memaksaku mengeluarkannya dari saku jins. Malas sekali sebenarnya, karena beberapa minggu ini, setiap sms hanya soal pekerjaan. Pasti yang ini juga, pikirku. Tapi ternyata yang ini lain, sebuah nama berbeda muncul di layar. Nama yang sempat masuk ke kehidupanku tanpa kusadari, dan keluar dari lingkaran hidupku dengan hanya ku renungi. Sembari menghela nafas, hanya ku pandangi saja sms dari nya, tanpa ku buka. Tak ku pungkiri sebuah senyum tersungging di bibirku, tapi tak lebar. Senyum simpul saja.

Kelas masih berlangsung saat aku kembali ke ruang itu. Suasana membosankan masih terasa dan pikiranku semakin tak fokus saja mendengarkan materi materi kuliah. 15 menit berselang, kelas bubar. Aku dan teman teman menuju ke kantin langganan kami, melayani perut yang sudah berontak.

Di kantin, saat sedang asyik berbincang, salah seorang dari kami menyapa temannnya, Dipta namanya. Dipta tak sendiri, ia membawa teman yang sesungguhnya teman kami pun belum mengenalnya. Seorang laki laki bernama Wikan. Dipta mengenalkan Wikan pada teman kami, dan dilanjutkan perkenalan kami semua dengan 2 orang asing itu. Dipta dan Wikan memutuskan makan semeja dengan kami. Mereka tak canggung dan cepat larut dalam topik yang kami bahas. Dipta ssendiri masih satu jurusan dengan kami, tapi Wikan tidak. Wikan mahasiswa hukum. Pantas saja aku tak pernah melihatnya, gumamku. Kalau Dipta, sebelumnya hanya sekedar tahu, tapi tak kenal.

Wikan duduk di sebelahku, sesekali ia ikut berkomentar mengenai apa yang kami bahas. Tak lama, ia mengajakku berbicara. Menanyakan jurusanku dan akhirnya namaku. Wikan sangat periang, ia terlihat sebagai sosok yang bisa berbaur dengan siapa saja. Singkat kata, cukup supel. Ku akui sosoknya sangat menyenangkan, selera humornya pun tak buruk. Ia pintar membawa suasana.

Tak terasa, sudah 1,5 jam kami ada dikantin. Makan setengah jam, mengobrol satu jam. Dipta dan Wikan tiba – tiba berdiri dan pamit. Tapi kami juga memutuskan untuk beranjak. Di persimpangan selasar, aku memisahkan diri dengan mereka. Masih ada kelas yang harus kuikuti. Jadwalku memang tak semuanya sama dengan teman – teman dekatku. Setelah beberapa langkah, aku menengok ke mereka yang berjalan berlawanan arah dengan ku. Tanpa diduga, Wikan sedang melihat ke arahku sembari tersenyum.

-#-

Di depan kelas, sudah banyak mahasiswa yang mengantri masuk ruangan, Maklum, ruang kelas masih terkunci. Dengan sabar kami menunggu. 5 menit, 10 menit, dosen tak kunjung datang. Setelah 30 menit berselang, kami putuskan bubar. Bagian pengajaran memberi info dosen kami tak bisa mengajar, ada keperluan mendadak. Ah, kenapa tak dari tadi, desahku. Tahu begitu, aku bisa langsung pulang. Ingin sekali beristirahat.

Sampai di rumah, langsung ku rebahkan badan yang dari tadi ingin sekali menyentuh tempat tidur. Setelah itu, kuhela nafas panjang, lalu meraih tas yang tak jauh dariku. Sebotol air mineral kukeluarkan lalu meminumnya. Segar sekali rasanya. Ku rebahkan kembali badanku, dan memejamkan mata, menikmati nyamannya suhu ruangan. Tak lama tiba – tiba aku ingat sesuatu. Sebuah sms dari sebuah nama tadi pagi belum aku buka. Kuraih ponsel yang tergeletak di sebelahku, dan mulai membuka folder pesan sigkat. Beberapa detik ku pandangi lagi sms darinya, setelah itu baru ku buka. Sebuah pertanyaan yang terkesan kaku tertulis di dalamnya

“ Zian...km lagi ap?”

Dering Itu

Kuhirup sisa hujan sesaat sore ini

memandang bangku kosong di ujung sana

Hiruk pikuk suara manusia ku abaikan

lelah untuk menyimak


Derap langkah kaki mengalun seirama

semakin cepat lalu dekat

Mataku tak henti mengawas

memastikan siapa yang datang kemudian


Waktu berlari...cepat

tapi derap itu melambat...mulai berhenti


Kusaksikan lorong sunyi di keramaian

mengusikku untuk bersua


aku berdiri

memejamkan mata sesaat

dan mulai menyusuri koridor kehampaan


Sehelai nafas mengiringi deringan ponsel di saku kanan

Memaksaku menyiratkan senyum terhebat

Tak lama kulihat namamu di layar

memelukku dalam dinginnya beban

Persahabatan dan Ruang Hampa

Ah..memang sungguh sederhana..


Sadarlah.. Ia tak butuh konsep yang terlalu matang

Bahkan , tanpa konsep sekalipun ia akan tetap ada..


Ia juga tak begitu mementingkan daftar waktu di atas kertas..

Karena ia lebih suka mengalir


Ia hanya minta secercah kerinduan

Tak lebih..


Berikan saja sedikit waktumu

Ia sudah senang..


ingat kawan..

persahabatan tak lahir di ruang hampa..


sederhana namun menyenangkan..

sekejap namun terpatri..


Itu cukup.. :)

Lilin Lentera

Berjalan kita tertatih..

tanpa kait..

Tak kaw sadari, aq menatapmu sembab di keheningan sore...

tanpa kata,,

Lambat laun, malam merayap gelap..

tanpa lentera..

Sempat kaw jentikkan sebuah lilin..

sayang hanya setengah,,,

diam santun menyapa sedari tadi..

tanpa geming..

kaw tahu..

aku pun tahu..

Sang lilin tak ingin pemantik..

Ia memilih 'mati'..

Menyisakan kaw dan aku

tanpa kita........

aku...kaw??

Singkat saja. Dahulu, saat masih di bangku SD dan SMP, apabila hari ahad tiba, aku akan bersorak gembira bila ibu ku bertanya “kemana fa enaknya minggu – minggu??”. Ahh.. serasa mendapat angin segar, aku akan dengan semangat menjawab “jalan jalan..:)” dengan harapan mungkin akan mendapat sebuah baju plus makan siang di sebuah rumah makan. Huff... mengingatnya membuatku tersenyum...


namun sekarang, segalanya berbeda.

Hari ini, Pukul 12.30 di akhir acara keluarga besar, adik ku berkata “mbak, aku sama bapak maw ke amplas..ikut gak???” lalu dengan polosnya aku bertanya “haa,,,maw ke mana??” dengan sedikit kesal adikku menjawab “ke amplas!!”. Setelah diam sejenak, aku menjawab “hmm...bolehlah [dengan sedikit malas]”. Aku mulai beranjak dari dudukku, menuju mushola menunaikan salat dhuhur. Selesai shalat, ku rebahkan diriku dan mulai berfikir. Beberapa menit kemudian aku berkata pada adikku “han...aku gak jadi ikut” adikku bertanya “la kenapa?” aku jawab dengan singkat “capek”.

ya.. segalanya berubah. Dahulu aku sangat bersemangat saat mendengar kata “jalan – jalan”. Namun sekarang, dengan urusan kuliah yang sedikit berantakan, tanggungjawab organisasi yang mulai terasa berat, serta urusan hati yang menurutku “bertubi – tubi dan complicated”, aku akan lebih memilih pulang. Menikmati kesunyian rumah dengan berbaring di tempat tidur, atau sekedar membaca koran sembari menyeruput hangatnya secangkir teh menemani hujan dan angin di luar rumah yang masuk lewat jendela. Ya,,, sepotong baju mulai tak lebih penting dari pada ketenangan dan kesunyian yang ingin didapat setelah 6 hari yang melelahkan. Apalagi saat ini ujian. heumm....dan untuk kelanjutan hari ini, aku memilih menyelami kesunyian rumah dengan membereskan apa saja yang bisa di bereskan :kamar tidur,dapur, ruang keluarga, dll, sembari ditemani alunan melodi Richard Clayderman. Setelah itu, baru aku berbaring di depan laptop menulis apa yang baru saja selesai anda baca.

Veinte

Ku rasakan keringnya bibirku saat ku ucap wahyuMu ayat demi ayat....

Tak ku sadari air mata ini menitik butir demi butir saat ku bersimpuh pada Mu..

Cicit burung fajar ingatkan diriku bahwasanya telah Engkau beri kesempatan roh dan jasad ku menyatu sehari lagi...

Namun...indahnya senja sadarkan ku sesungguhnya jiwa ini tanpa dinyana telah lalui separuh hari...

Aku termenung

Akankah ku masih bisa nikmati hangatnya matari esok hari??

Hanya DIa yang mengetahui..

Diri ini hanya mampu menyimpannya dalam jiwa sebagai misteri yang akan tetap menjadi misteri sampai ajal menghampiri..

Tapi ku ucapkan syukur padaMu untuk setiap detik dalam hidupku..

Syukur telah beri ku kesempatan merasakan getirnya hidup..

Syukur telah anugerahkan keluarga yang begitu indah,.

Syukur telah beri ku sahabat yang sangat berharga...

dan

Syukur telah beri ku keimanan untuk terus mengenal agamaMu...

Seiring Senja halaman dua

Pertengahan maret, siang menjelang sore, hujan lebat mengguyur kota ku tercinta. Kediamanku sepi. Tak ada manusia lain selain diriku. Makhluk – makhluk ciptaan manusia seluruhnya terdiam. Sepakat untuk membisu. Hening dan sunyi didalam, rusuh suara hujan diluar. Aku memilih berdiam di dalam rumah. Duduk menis di ruang tamu, menatap ke luar jendela, menikmati fenomena alam yang tengah berlangsung. Benar – benar menentramkan. Kalian tahu, aku suka kesunyian, ya...aku suka,,, tapi tidak dengan kesepian. Terkadang hiruk pikuk modernitas terasa sangat membosankan sehingga penat lebih rajin menghampiri.

Lambat laun hujan mulai mereda, kemudian sirna. Aku buka pintu depan, sekedar mengecek suasana di luar. Tiba tiba pikiran ku melayang ke suatu tempat. Tempat yang sangat ingin ku kunjungi sejak berbulan – bulan yang lalu. Mungkin, inilah saatnya. Ku seret kedua kakiku kembali ke dalam rumah, menuju kamar ku sendiri. Setelah berganti pakaian, ku ambil tas kecil yang tergantung di capstok, lalu meraih cellphone yang tak pernah absen ikut serta bila aku pergi. Aku keluar kamar, dan gagang pintu sudah hampir ku raih, namun tiba – tiba aku terdiam, mematung. Tak lama setelah itu, ku langkahkan kakiku kembali ke dalam kamar, dan meraih sebuah jaket. ya... jaket. Aku hampir lupa membawa jaket. Sesuatu yang sedikit wajib dalam kamus ku.

Tak terasa aku telah berada di sebuah halte , menunggu bus berikutnya datang dan mengantarku ke tempat tujuan. Tak butuh waktu lama untuk menanti sebuah bus, setiap 10 menit selalu ada yang melintas. Kunaiki bus dengan sedikit tergesa – gesa. Maklum, berebut. Di dalam bus ku edarkan pandangan ke segala arah, lalu berhenti di sebuah titik. Ada kursi kosong di pojok belakang sebelah kanan. Ku hampiri tempat itu, dan mulai duduk. Sebenarnya aku bisa saja mengendarai motor, namun entah kenapa, ingin sekali menggunakan transportasi umum.

16.00. Aku berdiri di mulut sebuah taman. Berkhayal yang ada di depan q adalah taman gantung babilonia yang dibangun sekitar tahun 600 SM oleh Nebukadnezar II, cucu raja Hammurabi, sebagai hadiah untuk istrinya. Sayangnya bukan. Tentu saja. Bodoh sekali berfikir seperti itu. Suasana taman cukup lenggang, hanya segelintir orang saja yang tampak. Tapi tak apa. Karena memang suasana seperti inilah yang ku harapkan. Sedikit sunyi. Aku berjalan mengikuti jalan setapak yang membelah taman menjadi 2 sisi. Sejurus kemudian ku lihat bangku kosong tak berpenghuni. Aku tersenyum. Ku hampiri bangku itu dan mulai duduk diatasnya.

Aku hirup udara sore itu sedalam yang aku bisa. Sungguh menyegarkan. Memandang pohon – pohon yang sesekali masih menetaskan air dari ujung daunnya sembari merasakan kesejukan aroma tanah yang baru saja terkena hujan namun mulai mengering kembali. Hhmm...perfect. Kuraih tasku untuk mengecek HP, namun justru sebatang coklat yang ku temukan. Ah... baru ingat, kemarin aku membeli sebatang coklat namun lupa menaruhkannya di kulkas. Ku ambil coklat itu dan mulai menikmatinya perlahan. Sembari memandang jauh ke depan, otak ku mencoba merekam kembali apa saja yang telah ku lalui dalam hidup ku. Bila teringat sesuatu yang sedikit menyakitkan, aku termenung, namun saat memori menghadirkan sesuatu yang membahagiakan, aku mulai tersenyum. Mungkin pengalaman hidupku tak sebanyak dan sepenting apa yang orang lain punya. Namun buatku, itu cukup. Aku cukup bahagia dengan hidupku yang sekarang. Sebuah pernyataan yang lebih merupakan upaya untuk mencoba selalu bersyukur. Kata orang jawa, isih untung. Katanya, entah kata siapa, sepahit apapun cobaan yang menghampiri, kita harus selalu bersyukur dan tabah. Kata - kata yang sangat mudah diucapkan, namun sangat sulit diamalkan. Tapi, aku akan terus mencobanya, pelan – pelan. Aku percaya saat ada kemauan pasti ada jalan. Man jadda wajada, man shabara zhafira.

Aku bersyukur memiliki orang tua yang sangat penyayang, walau terkadang bukan dengan cara yang aku inginkan. Aku bersyukur bisa memiliki sahabat yang sangat mengerti diriku, walau ku tahu terkadang mereka bingung dengan jalan pikiranku. Aku bersyukur masih diberi kekuatan iman, walau terkadang masih pasang surut. Aku bersyukur bisa diterima di masyarakat dengan keadaan fisik yang sedikit tak normal, walau pertanyaan menyebalkan itu terkadang masih ku jumpai. Aku bersyukur bisa bergaul dengan mudah di antara teman – teman ku, bercanda dan tertawa lepas dengan mereka. Soal ada pihak yang tak senang denganku, aku rasa itu wajar. Dimana ada pro disitu ada kontra, walaupun sungguh, aku berharap tak memiliki yang satu itu. Aku tahu banyak anak bangsa di luar rumahku yang hanya bisa merasakan pendidikan di dalam mimpi. Oleh karena itu, akupun bersyukur mampu mengenyam bangku pendidikan tanpa harus bersusah payang untuk meraihnya. Aku juga bersyukur studiku lancar, walau terkadang urusan organisasi menyita perhatianku terlalu banyak. Untuk urusan hati [baca : cinta], aku masih terus tersenyum. Aku tetap bersyukur walau sampai sekarang belum ada seseorang di sisiku. Aku percaya, seseorang itu akan datang, cepat atau lambat. Aku hanya belum menemukannya saja. I just have not found him yet. Saat sakit hati datang, kita bukan tidak bisa menyembuhkannya, kita hanya belum mau mencobanya. Jodoh tak akan ke mana. Itu yang dikatakan pepatah klasik. Sebenci apapun kita pada pepatah itu, toh memang ada benarnya. Sudah menjalin hubungan bertahun – tahun, jika memang tak jodoh, ada saja sesuatu yang memisahkan. Singkat kata, Cinta itu sederhana. Jangan pernah berfikir seseorang yang terus menerus 'menjomblo' bahkan mungkin 'jomblo sejak lahir', tidak memiliki cerita soal cinta. Jangan kira cerita cinta hanya milik mereka yang selalu memiliki pasangan. Ah...kalian tertipu jika punya pandangan seperti itu. Terkadang, para penyandang status 'single' justru merupakan kolektor cerita cinta. Hmm....Sudahlah, memang tak ada habisnya jika membahas point terakhir itu.

Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 15.30. Ku hirup sekali lagi udara yang sangat menyenangkan ini. Bibirku meyunggingkan senyum. Senyum yang terkembang. Sudah saatnya senyum simpul beristirahat, digantikan senyum yang satu ini. Ku nikmati gigitan terakhir dari coklat yang aku pegang, lalu berdiri. Ku edarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan mulai sangat sepi. Ku ambil tas yang teronggok di atas bangku, lalu mulai berjalan pulang. Hanya ada 1 kata di otakku saat itu : La Tahzan [jangan bersedih] :)

Serpihan Ombak

Kali ini aku berjalan. Sungguh ku tak ingin berlari. Ku ikuti saja kemana kaki ini akan membawa jasadku. Nafasku sedikit berat. Tapi ku indahkan. Hanya guratan guratan warna biru dan abu abu yang terekam oleh retina ku. Aku terus berjalan, dan masih tak tentu arah. Lambat laun kudengar suara gemuruh di kejauhan. Memecah kesunyian, tapi menenangkan. Ironis. Akalku sepertinya sedang tak sehat. Tak bisa ku tafsirkan apa yang ada dikejauhan itu. Namun hatiku tak tidur. Telinga batinku bekerja dengan sempurna, diiringi langkah ku yang tergoda medekati pemilik suara. Sayup sayup namun pasti, mataku menangkap warna biru dan abu abu yang tak lagi bercampur. Keduanya tercerai, sesuai takdir di mana mereka seharusnya berada. Sesaat kemudian, baru ku sadari bahwasanya bumi yang ku pijak tak lagi keras. Tapi lembut, dan menghangatkan. Suara tadi masih menjadi gemuruh, namun jauh lebih teratur. Aku berhenti. Syaraf syaraf otakku sedikit demi sedikit bangkit. Aku tahu tempat ini. Ya...aku tahu. Dan aku menyukainya. Ini pantai kawan. LAUT. Lalu bibirku tersenyum simpul....

Kedua kakiku mulai terayun kembali. Manyisir sepanjang bibir pantai, Tak ada rasa lelah, walau nafas masih sedikit berat. Angin menerpa raga ini dengan kelembutannya, seakan ingin bersahabat denganku. Air laut saling berkejaran. Semuanya ingin menang. Tak ingin kalah. Sama dengan manusia. Mungkin saja. Ada yang berkata manusia adalah serigala bagi manusia yang lain, setidaknya itu yang diucapkan kaum realis. Tapi sudahlah, akalku tak sedang ingin memikirkan hal macam itu.

Ku hirup udara pantai dalam dalam. Sedalam yang bisa ku hirup. Kali ini aku tak lagi berjalan. Dengan jari jari kakiku, ku mainkan pasir pasir yang berserakan. Dan merekapun semakin berserak. Pelan pelan ku bimbing setengah jasad ini menyentuh pasir pasir pantai. Kaw tahu kawan, sekarang ku telah terduduk dengan kedua tangan terangkai memeluk ujung kedua lututku. Segalanya membuatku nyaman. Sapuan angin, pasir yang bersahabat, dan air laut yang masih saling mengejar. Raga ku memang ada di pantai ini, namun pikiran dan jiwaku telah lama tak bersekutu. Memisahkan diri menuju sesuatu.

Aku terdiam, dan menyadari bahwa segalanya mungkin. Ya, segalanya mungkin, walaupun secara tak terduga. Terkadang kemungkinan itu datang tiba tiba, tanpa tahu sopan santun. Aku mulai berfikir hidup ini aneh. Banyak pintu yang bisa dipilih, namun berujung di tempat semula. Ini tak sama dengan terjun ke lubang yg sama untuk kesekian kalinya. Tak perlu berfikir terlalu jauh, bahwa hari esok itu masih gelap. Karena 5 menit yang akan datang saja masih misteri. Tak ada yang tahu. Ya, termasuk diriku. Banyak orang berkata “ikuti saja hidupmu seperti air mengalir”, namun itu tak semudah yang diucapkan. Entahlah, mungkin saja aku sedang bimbang. Hanya iman kepada-Nya lah yang masih membuat kakiku mampu berdiri, bahkan berlari.

Lambat laun aku berdiri, menghirup udara pantai untuk yang terakhir di waktu ini. Setelah itu ku putar badanku dan mulai berjalan. 10 langkah kemudian, aku berlari. Lepas.

Teman

Mereka begitu jauh

Tetapi ku rasakan mereka sangat dekat dengan jiwaku

Mereka tak sempurna

Tetapi mereka telah sempurnakan hidupku

Mereka terkadang hilang

Tetapi mereka akan selalu ada saat hati ini lelah

Mereka tak tertebak

Tetapi itulah mereka

DAN

Mereka terkadang egois

Tetapi mereka selalu raih tanganku saat ku tersungkur.

Jurang ironi

Selasa, 1 Februari 2011. Dengan sedikit termenung, seorang gadis di sudut kamarnya baru menyadari bahwa ia telah memasuki fase baru, dengan meninggalkan fase sebelumnya, Januari. Sedetik kemudian, gadis itu mengajukan pertanyaan dengan lirih, apakah kita tahu jika Januari 2011 menurut kepercayaan orang china merupakan bulan yang cukup istimewa? Dia berharap semoga kita mengetahuinya. Jika tidak, gadis itu memberi saran untuk segera menghampiri mesin pencari, yang dapat diterjemahkan seperti ini : double klik google crome di layar desktop masing – masing,

jam di pergelangan tangannya telah menciptakan formasi yang menghawatirkan. 07.35 am. Itu suatu pertanda bahwa ia akan mengalami sesuatu yang buruk jika tidak segera menyalakan mesin motor. Kuliah pertamanya di semester yang tidak bisa disebut awal dimulai pukul 07.30. Ia sudah terlambat 5 menit, dihitung sejak ia masih berusaha mengeluarkan transportasi utamanya dari garasi rumah.

Pukul 07.45 roda motor gadis itu mulai memasuki pelataran kampusnya dan sejurus kemudian mengacuhkan penjaga parkir yang berniat memberinya karcis. Setelah menanggalkan pelindung kepala, ia segera berlari menuju ruangan dimana raga dan jiwanya seharusnya telah berada. Benar saja, sang calon pemberi ilmu telah duduk manis di kursinya. Tetapi alangkah terkejutnya ia saat memutar kepalanya 120 derajat dan mendapati hanya ada segelintir anak adam yang duduk di kursi penonton. Sebagian dari mereka telah siap dengan tinta dan kertasnya, sebagian yang lain sedikit menguap. Perkuliahan baru dimulai 10 menit kemudian. Mungkin sang suhu telah bosan menunggu kapan kuota forum akan tercapai, dan akhirnya menyerah pada keadaan. Selanjutnya, kegiatan yang acap kali disebut belajar – mengajar tersebut bergulir dengan sangat lambat. Setidaknya itu menurut si gadis tadi. Pukul 09.00 am, pemateri masih bersemangat dengan berbagai penjelasannya soal posisi legislatif dan eksekutif di Amerika Serikat, padahal banyak mahasiswa mulai berlaku aneh. Ada yang sibuk tengok belakang tiap 10 detik, ada yang berdehem sampai kerongkongannya benar benar serak, bahkan ada yang sengaja memutar ringtone di Hpnya. Suasana mulai kacau. Maklum, sesi 1 dari 3 sesi yang ada di list jadwal perkuliahan si gadis seharusnya telah berakhir. Salah satu teman gadis itu menyadari bahwa situasi mulai tak terkendali. Dengan keberanian yang seadanya, teman tadi mengangkat tangannya sembari berkata “maaf pak, bukannya tidak menghargai bapak, tetapi setahu kami perkuliahan selesai jam 9. Ini sudah lebih.Maaf pak sekali lagi.” Tanpa dinyana, pegampu mata kuliah tersebut justru berterima kasih karena telah diingatkan dan 3 menit kemudian mengakhiri pertemuan. Mahasiswa satu per satu mulai keluar ruangan dengan mengusung berton ton sumpah serapah yang spontan meledak saat sudah berjarak kurang lebih 500 meter dari kelas. Tak terkecuali gadis itu. Ia merasa sesungguhnya materi tadi cukup menarik, tetapi tak begitu suka dengan penyampaian yang terlalu lambat. 2 menit kemudian si gadis menyerah dengan segala kekecewaan otaknya. Ia percepat langkah kakinya yang tak seirama dan berharap segera menyuplai kadar karbohidrat dan sekutu sekutunya ke dalam lambung. Ya, saatnya makan pagi...merangkap siang,

kelas selanjutnya dimulai pukul 09.30. Artinya lidah dan enzim ptialin sang gadis dipaksa untuk berpacu dengan dua jarum yang terus melaju. Saat jarum panjang merujuk ke angka 6 dan saudaranya bertengger di antara angka 9 dan 10,saat itulah ia sukses menelan porsi terakhirnya.

Loby utama sudah cukup ramai, tetapi tak ada hal berarti yang dilakukan oleh sekumpulan pelajar tersebut kecuali berbincang tak tentu arah dengan raga di sebelahnya. 10 menit berlalu, tapi tak ada perubahan yang berarti. 30 menit telah terlewati, dan nasib masih tak berpihak pada gadis itu. Disimpulkan, kuliah kosong. Badai otak yang sejak tadi telah melanda si gadis kontan terealisasi dalam puluhan baris kata – kata secara tak terkendali. Ia kecewa, untuk yang ke dua kalinya. Ia memilih pulang.

Di kediamannya yang tak bisa dibilang asri dan tak bisa disebut gersang, ia mulai menyalakan laptop yang tak pernah beranjak 1 sentipun dari tempatnya berada sekarang. Beberapa detik kemudian, MS word telah tersaji. Gadis tadi mulai tenggelam dalam pikirannya dan sibuk mematuk tuts keyboard dengan jemari kecilnya. Tak terasa matahari sudah sepenggalah. Jam di dinding kamar telah memperlihatkan 2 jarum yang berhimpit. 12.00 siang. Gadis tadi sadar bahawa ia harus segera kembali ke kampus, perjuangan untuk masa depan belum berakhir. Satu mata kuliah lagi telah menanti.

Kelas telah cukup penuh, sedangkan sang dosen masih sibuk dengan laptop dan LCD yang tak kunjung terhubung. Lambat laun lelah menghampiri dan memaksanya untuk memulai perkuliahan tanpa bantuan alat elektronik apapun. Manusia mudah lelah, tetapi waktu tak mengenal kata lelah. Sesi ke tiga tersebut berlangsung selama hampir tiga jam dan membuat sang gadis kecewa untuk yang ketiga kalinya. Kasian betul. Ia merasa membaca judul mata kuliahnya saja sudah membuat lelah, ditambah dengan penyampaian yang tak sesuai selera dengan durasi yang cukup lama. Lengkap sudah.

Selesai dengan mata kuliah yang tak sesuai dengan selera tadi, segera saja ia melesat menuju kampus sahabatnya. Beberapa urusan eksternal kampus tak sabar untuk ditangani. Waktu terus berlalu hingga akhirnya sebuah gedung pelatihan bahasa telah menantinya. Dengan sedikit gontai, ia lalui sesi terakhir untuk hari itu dengan tak terlalu bersemangat. Sudah terlalu lelah.

Pukul 19.25, semuanya berakhir. Roda motor mulai melaju cepat menuju tempat yang telah sangat dinanti sang gadis sejak pukul 4 sore. Ya, saatnya kembali ke rumah. Jalanan kota tak terlalu ramai, tetapi juga tak bisa dibilang sunyi. Lampu lalu lintas satu demi satu telah dilalui si gadis. Hingga suatu waktu, sampailah ia di salah satu lampu merah yang dalam sekejap mampu menggetarkan hatinya. Di salah satu sudut, terduduk sesosok bocah berkisar kelas 4 atau 5 sd mengenakan rok merah serupa seragam sekolah, menunduk sembari membaca koran nasional di tangannya. Dibalik koran yang dipegangnya setumpuk koran yang sama berada di pangkuan bocah itu, berharap untuk segera terjual. Sungguh harapan yang miris. Jarang sekali ada yang maw membeli koran malam malam. Beritanya sudah basi. Melihat fenomena itu, pikiran sang gadis mulai bergerak mengikuti apa yang ada didalam hatinya. Sembari menatap bocah tadi, ia mulai merasa selama ini tak terlalu bersyukur atas hidup yang telah dikaruniakan Allah untuknya. Memorinya mulai memutar apa saja yang telah dilaluinya hari ini. Dan mendapati dirinya yang mudah menyerah pada perjuangan. Terlalu banyak mengeluh dan kecewa. Sedangkan di sisi lain, tersaji lukisan hidup yang cukup menyentuh. Gadis itu yakin bocah di sudut lampu lalu lintas tadi memiliki semangat belajar dan keingintahuan yang membara. Tetapi keadaan memaksa si bocah tak dapat merealisasikan semangatnya dengan maksimal. Malam yang seharusnya dgunakan untuk belajar, tersubstitusi dengan berjualan koran. Walhasil, koran menjadi tempat pelampiasannya untuk mengetahui isi dunia ini, Andai saja bocah tadi diberi kesempatan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak, besar kemungkinan sosok tadi akan menjelma menjadi aset negara yang tak ternilai. Fenomena bocah tadi sesungguhnya hanya sepercik realita dari danau fenomena menyakitkan yang bisa ditemukan di negeri pengagung kalimat gemah ripah loh jinawi. Si gadis juga mengatakan bahwa kita tentu ingat, ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa terkadang kemiskinan itu bukan takdir, tapi memang ada yang membuat mereka menjadi miskin. Singkat kata, sengaja dimiskinkan..

Sembari melanjutkan perjalanan, sang gadis teringat salah satu halaman di koran nasional yang dibacanya beberapa hari lalu. Di sana tersaji sebuah liputan mengenai gerakan riil pencerdasan bangsa. Ya, GIM [Gerakan Indonesia Mengajar]. Gadis tadi mulai bergumam, andai saja banyak manusia Indonesia memiliki pemikiran yang sama seperti Anies Basweden, keterpurukan negeri ini tak perlu terjadi. Masih banyak PR pemerintah yang tak terselesaikan dan menuntut untuk segera dituntaskan. Sang Gadis merasa mempertimbangkan hal semacam itu jauh lebih manusiawi dibanding terus berdebat mengenai gaji presiden yang tak pernah naik selama 7 tahun.

Tak terasa pelataran rumah mulai terlihat. Sembari memarkir motor, gadis tadi berbicara pada dirinya sendiri. Beruntunglah para kaum terpelajar yang sedang memperjuangkan masa depan. Ia merasa tak sepantasnya para siswa atau mahasiswa mengeluh dalam meraih tujuan hidup, karena masih banyak yang hidupnya lebih tidak beruntung, dan lebih tidak terarah. Sosok bocah penjual koran di pinggir jalan tadi sungguh telah menginspirasinya.

The End of Holiday

Holiday…kata yang ditunggu tunggu oleh siapapun yang sudah muak dengan segala rutinitas sekolah, organisasi, atau perkuliahan. Kata itu juga yang selalu kunanti 4 minggu yang lalu. Tak ada list pengisi liburan yang ku buat saat itu. Liburan ku lalui apa adanya seiring berjalannya waktu. Tapi ku akui liburan kali ini sedikit berbeda.

Awal liburan, ku dapati diriku tenggelam dalam kesedihan yang tak pernah dan tak mau ku bayangkan sebelumnya. Hari pertama liburan, aku kehilangan sesosok batita yang sungguh ku sayangi. Yang ku ingat darinya adalah senyum manisnya saat melihatku bertandang kerumahnya di sela sela jadwal kuliah dan organisasiku. Dan tentu saja reaksinya saat tak mengizinkan ku untuk keluar dari pintu rumahnya. Sangat menggemaskan. Ia meninggalkan planet yang fana ini setelah dirawat di rumah sakit selama kurang lebih 2 minggu. Sungguh, tak terbendung tangisku saat mengetahui ia koma dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Tapi kami sekeluarga memahami, bahwa ia bahagia di sana. Inilah yang terbaik untuknya. I LOVE YOU mb ZORA… Setelah kejadian tersebut, kulalui minggu pertama liburanku dengan menginap di rumah budhe dan mb.dian (eyang dan orang tua dari mb zora)

Liburan selajutnya ku lalui bersama sahabat sahabatku semasa SMA dan bertemu dengan teman teman baru. Cukup menghibur setelah kejadian yang membuatku terpukul.

Liburan minggu ke dua, bersama sahabat sahabatku, kami berkumpul di Pizza Hut jalan sudirman. Sangat sulit bagi kami untuk bisa berkumpul bersama ditengah jadwal kuliah masing masing dan tentunya jadwal liburan yang berbeda. Kami 6 orang yang bersahabat sejak SMA dan masih terus menjalin hubungan tersebut hingga kini. Kami ber 6 kuliah di jurusan dan universitas yang berbeda – beda, dan ku anggap itu unik. Aku sendiri kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta jurusan Hubungan Internasional. 5 sahabatku antara lain Rima Sekarani Immamun’nisa mengambil jurusan Bimbingan Konseling di UNY, Budi Rodestawati menempuh keperawatan dokter gigi di UGM, Appriliana Resty Ardi memilih jurusan Farmasi di UII, Fardo Rahmandika yang awalnya kuliah di UNY sekarang mengikuti jejakku mengambil Hubungan Internasional di UMY, dan yang terakhir Riza Nur Indra Lukmana diterima sebagai mahasiswa Komputasi di IT TELKOM, bandung. Kami memilih PH sebagai tempat berkumpul karena sebelumnya sahabatku yang bernama Riza berjanji untuk mentraktir kami ber 5 disana apabila dia kembali ke Jogja. Saat itu, ku sebut kami sedang mendukung kapitalisme dan membudidayakan kehidupan yang hedonis. Tapi tak apalah, sekali sekali boleh lah… hehe! Di PH, kami, terutama 4 sahabatku. berebut bercerita tentang kuliah masing masing sembari bersenda gurau. Walaupun sang empu acara mengatakan tak ingin membahas tentang kuliah, tetapi tetap saja wacana tersebut bergulir sampai tak terarah. Aku dan rima hanya tersenyum melihatnya. Setelah dirasa cukup (cukup sangat lama ) kami mulai keluar ruangan. Riza dan dita bergegas pulang, tapi aku, rima, fardo dan resty tetap menunggu di dalam PH sampai bosan karena hujan sangat lebat dan seperti tak berujung. Kami ber 4 baru pulang saat ku telah merasa benar benar tak enak dengan sang waitress karena terlalu lama sampai sampai kami dikira sedang menunggu pesanan pizza yang belum datang. Padahal kenyataannya, kami menunggu hujan.

Di liburan kali ini pula, ku semakin mengenal teman teman baruku. Anak anak LPM EKSPRESI UNY yang awalnya kukenal secara tak sengaja karena salah satu sahabatku, RIMA adalah bagian dari mereka. Kuakui mereka menyenangkan dan ku cukup nyaman dengan atmosfir yang mereka ciptakan. Aku cukup sering berkunjung ke ekspresi karena byasanya ada perlu dengan sahabatku. Di note ini ku juga ingin meminta maaf bila terkadang mengganggu kegiatan kalian dengan kedatanganku. Aku merasa mereka banyak mengisi hari hari liburanku terutama di tengah tengah menjelang akhir liburan. Walaupun kebanyakan hanya melalui FB. Septi, Indra, Delvira, Inas, ka Jaka, Aya, dan Rizal adalah beberapa dari mereka yang aku kenal. Sebagian sering berbalas coment di FB denganku. Aku sempat menunggu hujan reda di ekspresi bersama septi, rima dan teman temannya yang lain, sesaat setelah meninggalkan PH. Beberapa hari yang lalu aku juga menonton malam puncak Korean days di UGM dengan Septi dan Rima. Acara yang menyenangkan. Di LPM ini juga, ku kenal sosok yang sangat hebring tp cukup gokil. Indra. Dialah orang yang selalu menyambutku dengan sapaan berulang entah berapa kali saat ku bertandang ke ekspresi. Aku juga terkadang cukup terhibur dengan status status FB nya yang nyleneh. Selain itu ada rizal yang bertanya apakah aku senang menonton bola. Oiya, makasih bwat ka Jaka yang uda traktir aku waktu dia ultah. Sering sering aja ya kak.(hehe). Jangan lupa ajak aku kalo mau nonton di cinebook club. Jadi penasaran. Overall, I’m glad to know you all.

Minggu terakhir, ku isi dengan mengunjungi Korean days di UGM. Acara yang sungguh ramai. Yang benar saja, saat ingin memesan makanan di salah satu stan, kami harus mendaftar terlebih dahulu. Dan anda tau? Antriannya tidak pendek. Hari pertama aku dan rima ingin sekali berfoto dengan baju handbook. Tapi saat melihat kerumunan orang di depan stan kostum tersebut, segera saja, batalkan niat. Saat itu kami bertiga juga ingin menonton film, tapi ternyata tiket telah habis. Lalu aku dan fardo memesan tiket untuk film hari ke 2. hari ke-2 tiba, saat aku beranjak memasuki ruang pemutar film, ku bingung karena aku tak membawa tiket yang kemarin dibeli. Ada miscomunication antara aku dan fardo disini. Aku mengira tiketku di bawa olehnya, tapi dia merasa tikeku telah ku bawa. Walhasil, aku gagal menonton film..untuk ke dua kalinya. Untuk mengisi waktu, aku menyusul Rima di kampusnya. Korean days hari ke tiga cukup menyenangkan. Malam puncak yang menghibur dan berakhir pukul 11 malam. Yang kusesalkan, kenapa tarif parkin naik jadi 2ribu saat malam puncak?? Hahag…

Sebagai penutup note ini, aku sangat berterima kasih pada sahabatku Rima Sekarani I.N karena dialah orang yang paling sering menemani dan mengisi liburanku. Selamat liburan bwat Rima dan teman teman ekspresi UNY. Semoga liburan kalian menyenangkan dan liburanku selanjutnya akan lebih bermakna. Aminn.

Bayangan JIwa

Tak seorangpun menyangkal bahwa rezeki, kematian dan jodoh adalah rahasia Ilahi. Tak ada yang bisa kita perbuat untuk bisa mengetahuinya. Ketiganya adalah misteri dan akan tetap menjadi misteri sampai benar benar terjadi.

Terkadang manusia tak meyadari jika sesuatu yang sering dihujatnya sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan mereka, atau mungkin akan terjadi pada mereka suatu hari nanti. Sinetron dapat dijadikan contoh dalam hal ini. banyak orang, tak hanya laki laki tapi juga perempuan yang terkadang tak menyukai kehadiran sinetron. Mereka beranggapan bahwa sinetron adalah acara yang tidak mendidik dan tidak sesuai dengan realita. Termasuk saya. Terlalu utopis. Tetapi sadarkah kita bahwa apa yang ada di sinetron bisa terjadi pada kehidupan kita kapan pun dan dimanapun. Seorang teman bercerita pada temannya yang lain bahwa ia sangat tidak senang saat ibunya mengganti cannel TV dengan tayangan sinetron padahal ia sedang menonton film yang tak sampai 10 menit akan tamat. Ia memang tak pernah menonton sinetron tersebut, tetapi dengan membaca judulnya saja ia sudah bisa memastikan jalan cerita dan ending dari acara tersebut. Keluarlah sejuta gerutuan dari mulut kecilnya. Mulai dari kata kata sederhana macam “apaan si itu”, “ sinetron lagi…sinetron lagii”, dan “ males deehh” sampai kalimat kalimat kompleks yang apabila didengar oleh sang produser mungkin bisa berakibat stoke seperti “ tayangan tak mendidik!!”, “hari giniii…sinetroonn…ga kreatif!” atau “dasar produser Cuma cari reting! Racun negara!”. Yahh…macam itulah pokoknya. Tetapi, suatu ketika ia mengalami sebuah tragedi dimana ia mencintai seorang laki laki yang ditemuinya secara tak sengaja disebuah tempat kerja dan si laki laki juga memiliki perasaan yang sama padanya. Terjalinlah hubungan yang sesungguhnya terlarang. Kenapa terlarang, karena sang laki laki sudah memiliki kekasih. Ia pun cukup mengenal kekasih lelaki tersebut, padahal ia sangat mencintai sang lelaki. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengorbankan perasaannya demi menyelamatkan hubungan dan perasaan kekasih sang laki laki.

Saya yakin anda sudah mengantuk sejak saya mulai bercerita tentang kisah tersebut. Terlalu sinetron. Ya, hal yang sama selalu terlintas di pikiran sang tokoh. Ia tak menyangka kisah picisan yang sering dihujatnya akan ter-copy dalam hidupnya. Tapi itulah yang terjadi. Itulah misteri hidup. Bolehlah kita tak suka akan sesuatu, bahkan terkadang ketidaksukaan tersebut bukan sesuatu yang apriori dan sudah teruji rasionalisasinya. Tetapi jangan kaget apabila suatu saat hal tersebut terjadi pada diri kita sendiri.


Seiring Senja

Hari rabu, pukul 14,00. Sang surya tak pernah lelah menyinari kota ini. Kota yang banyak orang bilang cukup asri, walaupun puluhan sepeda motor bederet menunggu lampu merah berubah warna. Ironis memang. Tapi diluar semua itu, aku suka kota ini. Kota tempat berkumpulnya anak muda dengan berbagai karakter dari segala penjuru, dengan tekat yang hampir sama. Menuntut ilmu. Aku berusaha berfikir positif bahwa mereka datang ke kota ini memang benar benar ingin meraih mimpi.

Aku berada di salah satu ruangan kampus yang cukup nyaman, dengan computer tertata rapi mulai bersahut sahutan lewat sentuhan jari jari manusia, menciptakan harmoninya masing masing. Ku edarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari sosok berbentuk bundar dengan formasi angka yang dicetak mengikuti kontur empunya. Namun tak ku temukan sosok itu. Dengan sedikit malas, ku keluarkan benda kotak dari saku jins yang sudah 7 jam belum berdering. Layar benda itu bertuliskan 14.05. Baru ku ingat, zuhur hampir habis, dan aku belum menunaikannya. Tanpa ba bi bu, ku berlari menuruni tangga menuju mushola. Melepas sepatu kets kesayangan yang selalu ku jaga dari guyuran hujan lalu menyongsong tempat wudhu. Seusai sholat, ruangan terbuka di sebelah mushola mengusik ku untuk segera ke sana. Tempat itu terlihat sejuk dengan angin bertiup lembut, hening tanpa bising, dan cukup nyaman untuk bersantai. Aku bawa sepatu kets ke tempat itu dan meletakkanya di lantai. Sembari duduk di kursi dan bersandarkan tembok, pikiran ku melayang ke setengah tahun yang lalu. Kisah yang mungkin akan selalu ku ingat entah sampai kapan.

Saat itu aku mengikuti suatu kepanitiaan yang melibatkan ribuan orang dari seluruh penjuru Indonesia. Aku ditempatkan di suatu posisi yang memberiku tanggung jawab untuk mengurus tempat menginap tamu tamu undangan acara tersebut. Mulai dari informasi kamar sampai informasi jadwal kegiatan. Awalnya semua berjalan lancer, tak ada kisah yang begitu membekas. Hingga akhirnya datang seorang bapak dari wilayah timur Indonesia menanyakan informasi kamar. Jujur, sejak pertama melihat beliau, ku merasa tak asing dengan wajahnya. Aku seperti sudah sering bertemu dengannya dan sangat mengenalnya. Detik itu, hanya ku abaikan saja semua gumaman hati. Setelah semua prosedur beres, dengan cukup tenang beliau menatapku sambil tersenyum dan berkata bahwa wajahku mengingatkan beliau pada anaknya yang baru saja meninggal terkena hidrosepalus. Beliau berkata bahwa umurnya sama dengan ku. Bahkan cara berbicara ku pun mirip dengan anaknya. Tak pelak, aku cukup syok saat mendengar pengakuan beliau. Baru saja ku berkata dalam hati tak asing dengannya, tiba tiba beliau berkata seperti itu. Banyak pertanyaan berkecamuk di dalam pikiran ku. Setelah itu, beliau mengobrol banyak dengan ku sampai waktu makan malam tiba. Topik pembicaraan bergulir begitu saja. Beliau pun tak sungkan untuk menceritakan mengenai anak perempuannya yang baru saja meninggalkan dunia fana ini. Setelah kejadian itu, aku ingin suatu ketika bisa bertemu dengannya kembali. Mungkin di tempat berbeda dengan kondisi berbeda.

Tiba – tiba Suara sepeda motor membuyarkan lamunan ku. Sembari tersenyum kecil sepatu kets mulai ku pakai dan segera beranjak dari zona nyaman. Kembali ke habitat semula.

Gemerincing Kaca

Langit mendung sekali, tapi ku harap hati ku tak semendung awan di luar rumah. Tiba tiba ku dengar gemerincing kaca di kejauhan, anehnya ku masih terdiam di tempat ku berdiri. 5 menit kemudian, ku hampiri si empunya suara. Disana q hanya tersenyum masam, lalu meraih tas yang tak jauh dr sumber suara.

Yogyakarta terasa dingin. Dingin yang menusuk tulang. Sedikit memberikan kenyamanan, tapi menyiksa. Motor ku melaju cepat, menembus maraknya lampu lampu kota. Diatasnya, lagi lagi q hanya terdiam, hanya mata q yang sibuk menjelajah malam. Tak terasa, roda motor telah berhenti berputar, menandakan tempat tujuan telah di depan mata.


Ku parkir motor itu di tempat sekenanya, toh, selama masih dalam jangkauan penglihatanku, ku fikir aman. Ku langkahkan kaki ku selangkah demi selangkah, hingga menemukan sesuatu yang serasa tak asing. Sebuah bangku panjang, dengan sesorang diatasnya, terlihat gelisah, seperti sedang menunggu sesuatu.


Ku hentikan langkah ku dan duduk disampingnya. Disitupun ku lakukan hal yang sama, hanya diam. Dia pun diam, seperti tak menyadari kehadiran ku. Waktu berlalu, cepat, sangat cepat. Tiba – tiba seseorang tadi berdiri, sambil mengatupkan kedua tangannya, lalu mengubah posisi. Ku ikuti perubahan posisinya. Tak lama kemudian, datanglah seorang wanita dengan senyum khasnya menghampiri kami. Sempat ku lihat perubahan raut muka orang di samping q, matanya bercahaya. Wanita itu berdiri di samping ku, memposisikan diri sama dengan kami. Dalam sekejap, ku telah ada di antara mereka.


Sejenak ku masih diam, sebelum mereka sempat melangkah, ku putar badanku, dan berjalan melawan arah.. menjauh..sembari tersenyum…

Hanya Sebuah Pesan

Hari Selasa, di awal bulan maret, seorang mahasiswi terduduk lelah di antara segerombol orang yang sibuk merajut kata demi kata yang akhirnya membuat diri mereka sendiri tertawa, atau lebih tepatnya terkadang menertawakan diri mereka sendiri. Setelah beberapa saat, dia mulai terseret arus percakapan itu. Saat mereka mulai kehabisan bahan yang berujung pada kesunyian, matanya menangkap sebuah buku tergeletak tak jauh dari tempatnya bersandar. Ia raih buku yang secara kasat mata terlihat baru, dan membukanya lembar demi lembar ato sekedar membolak balik buku demi memastikan apakah ia tertarik dengan buku itu. Saat ia tengah asyik dengan observasi pribadinya, seorang teman yang ternyata empu buku tersebut, meminta apa yang tengah ada di genggamannya. Dengan setengah hati, ia berikan buku itu. Tetapi tak lama si empunya buku hanya sekedar menimbang – nimbang dan meletakkannya. Melihat hal itu, dengan sedikit kesal ia raih buku tersebut kembali dan mulai membacanya. Baru 10 menit menyelam, ia letakkan juga kumpulan kertas setebal 363 lembar itu. Tanpa ia sadari, sang empu buku mengetahui sikapnya dan menanyakannya. Ia mengatakan tak ingin mengambil resiko untuk terus menyelaminya. Sang empu hanya tertawa dengan balasan senyum simpul darinya. Waktu berlalu dan si empu mengatakan ia boleh membawanya. Tanpa pikir panjang ia lanjutkan petualangannya dalam ribuan baris kata - kata. Tak terasa waktu mulai menunjukkan ketegasannya. Jarum pendek terarah ke angka 12 yang diikuti pasangannya pada angka 9. Ia memilih pulang.


Home-05:00 pm…


Telah ia selesaikan 25% dari isi buku, yang berarti baru saja merampungkan cerita kedua. Ia letakkan benda itu dan mulai melambungkan pikirannya. Tanpa sadar, ia mengambil pesan dari cerita pertama buku tersebut. Dia berkesimpulan bahwa sebenarnya suatu masalah hanya persoalan sementara. Tak ada yang tak mungkin terselesaikan bila kita mau memulai untuk menyelesaikannya. mereka yang berseteru, akan berangsur damai bila salah satu dari mereka memulainya dan yang satu bersikap kooperatif. Jangan lupa untuk memperhitungkan waktu dan suasana. Karena itu sangat menentukan. Akan tetapi seperti ini tak selalu berujung manis, bila salah satu dari mereka menodai proses itu.

Secara tiba – tiba sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Saat pintu tersibak, ternyata seorang teman yang lain. Mulailah mereka terlibat pembicaraan yang berangsur – angsur menyingkirkan buku itu dari pikirannya. Saat tamu itu berlalu, ia sambut hand phonenya dan mendapati beberapa message di ponsel itu. Saat ia buka salah satunya, ternyata Sang empu menanyakan apakah buku itu ada padanya ato tidak. Dengan setengah tertawa, ia balas message tersebut dan bergumam

“ bisa amnesia juga ternyata tu orang…untung q ga berniat buat jadiin koleksi pribadi….kkehhee”.




-sebuah cerpen yang sebenarnya tidak bisa dikatakan cerpen-

kaw tahu??beri tahu aku...

Pukul 2 siang… waktu truz berputar tanpa henti. Matahari sangat terik. Belum lagi teriakan puluhan mesin yang menambah suasana semakin ricuh. Halte jalan sultan agung penuh sesak. Membuat q semakin tersudut. 1 menit berselang, belum ada tanda – tanda munculnya batang hidung TJ track A. 5 menit pun berlalu, transportasi teranyar di jogja itu belum juga tiba. Ku mulai bosan, ku mainkan jemari tangan kanan q berkolaborasi dengan jemari pasangannya. Ironisnya, hal itu tak membuat q amnesia bahwa q sedang menunggu sesuatu. Alhasil, ku tetap bosan!



Sembari menunggu, ku angkat kepala. Ingin sekali q lihat suasana langit Jogja saat itu, akan tetapi pandangan terbentur langit – langit halte yang mulai terlihat tak terawat. Dari arah berlawanan, seseorang terlihat menyerukan kepada para penunggu track A, bahwa biz telah dating. Mendengar hal itu, dengan sangat terpaksa bercampur lega, ku angkat salah satu sisi kaki q untuk mulai melangkah, diikuti sisi lainnya agar tak tertinggal rekannya.



Suasana dalam biz sedikit lenggang. Tak ada yang harus berdiri. Tetapi tak semua kursi tersisi. Kursi yang berseberangan denganku salah satunya. Bis mulai berlalu meninggalkan para penumpang terdahulu. Tak banyak yang bias ku lihat di luar, kecuali lalu lalang puluhan kendaraan yang seolah tak pernah putus. Tak terasa 1 halte telah berlalu, berlanjut ke halte selanjutnya. Halte 1 menambah jumlah penumpang yang tak terlalu banyak, tetapi cukup membuat hanya tersisa 1 kursi. Biz melaju kembali, diiringi khayal ku yang mulai berlayar. Angan ku melayang bebas tak terbendung. Membentuk byk plot untuk semua imajinasiku. Syetan syetan yang beterbangan tak membuat semua gambaran itu sirna. Kecuali satu hal. Apa itu??? Ku pun tak tau…….. kaw tau????

here i find love ... [i like it]

ini kuambil dr sebuah novel berjudul Dreamo..here i find love.. :))



hidup adalah perjalanan yang akan berhenti pada suatu waktiu ia tak akan bergelar hidup.
kala itu waktu bagi pribadi yang tak hidup kan berhenti. Namun, jangan pernah takut karena kita akan berada dalam dunia yang hidup.

Apa yang membuat ia berwarna? Semua adalah suatu yang bukan realita. Ia banyak dan sulit di utarakan siapa saja, bahkan oleh diri q yang hidup dalam realita. Ia begitu indah, terbayang, tidak berpegang, namun bermakna sempurna meski kala hati tak mampu meraih kesempurnaan. ia begitu dekat dengan tidur q, namun tetap dekat kala mata q tk terpejam di alam tidur. Q sadar terkadang ia muluk - muluk dan akan diwujudkan. tapi ia yang membuat aq berwarna, semakin berwarna dan dapat menjadi warna bagi orang lain. Itulah dy yang membuat q ada saat ini dengan banyak kerinduan untuk semua cita" q....Ia bermula dr impian...

Aku seorang pemimpi, dan tetap terbangun kala mimpi itu telh berakhir satu episode. Tapi mimpi" yang lain tetap datang mengiringi tidur dan alam pikiran q. Aku merasa senang kala merasakan ia ada dan hidup dalam diri q. Membuat q bisa merasa dan mewujudkan apa yang q pikirkan.Sehingga ia sekarang tidak hanya sskedar bunga yang beterbangan di alam khayal, tetapi ia dapat mewujud dalam dekapan & sentuhan yang nyata.


karena itu aq akan tetap bermimpibutk menemukan arti hidup, menemukan belahan hati, dan menemukan arti cinta yang sesungguhya. Aku adalah pemimpi.


I'M A DREAMER.................. :]