Jumat, 24 Juni 2011

Seiring Senja halaman dua

Pertengahan maret, siang menjelang sore, hujan lebat mengguyur kota ku tercinta. Kediamanku sepi. Tak ada manusia lain selain diriku. Makhluk – makhluk ciptaan manusia seluruhnya terdiam. Sepakat untuk membisu. Hening dan sunyi didalam, rusuh suara hujan diluar. Aku memilih berdiam di dalam rumah. Duduk menis di ruang tamu, menatap ke luar jendela, menikmati fenomena alam yang tengah berlangsung. Benar – benar menentramkan. Kalian tahu, aku suka kesunyian, ya...aku suka,,, tapi tidak dengan kesepian. Terkadang hiruk pikuk modernitas terasa sangat membosankan sehingga penat lebih rajin menghampiri.

Lambat laun hujan mulai mereda, kemudian sirna. Aku buka pintu depan, sekedar mengecek suasana di luar. Tiba tiba pikiran ku melayang ke suatu tempat. Tempat yang sangat ingin ku kunjungi sejak berbulan – bulan yang lalu. Mungkin, inilah saatnya. Ku seret kedua kakiku kembali ke dalam rumah, menuju kamar ku sendiri. Setelah berganti pakaian, ku ambil tas kecil yang tergantung di capstok, lalu meraih cellphone yang tak pernah absen ikut serta bila aku pergi. Aku keluar kamar, dan gagang pintu sudah hampir ku raih, namun tiba – tiba aku terdiam, mematung. Tak lama setelah itu, ku langkahkan kakiku kembali ke dalam kamar, dan meraih sebuah jaket. ya... jaket. Aku hampir lupa membawa jaket. Sesuatu yang sedikit wajib dalam kamus ku.

Tak terasa aku telah berada di sebuah halte , menunggu bus berikutnya datang dan mengantarku ke tempat tujuan. Tak butuh waktu lama untuk menanti sebuah bus, setiap 10 menit selalu ada yang melintas. Kunaiki bus dengan sedikit tergesa – gesa. Maklum, berebut. Di dalam bus ku edarkan pandangan ke segala arah, lalu berhenti di sebuah titik. Ada kursi kosong di pojok belakang sebelah kanan. Ku hampiri tempat itu, dan mulai duduk. Sebenarnya aku bisa saja mengendarai motor, namun entah kenapa, ingin sekali menggunakan transportasi umum.

16.00. Aku berdiri di mulut sebuah taman. Berkhayal yang ada di depan q adalah taman gantung babilonia yang dibangun sekitar tahun 600 SM oleh Nebukadnezar II, cucu raja Hammurabi, sebagai hadiah untuk istrinya. Sayangnya bukan. Tentu saja. Bodoh sekali berfikir seperti itu. Suasana taman cukup lenggang, hanya segelintir orang saja yang tampak. Tapi tak apa. Karena memang suasana seperti inilah yang ku harapkan. Sedikit sunyi. Aku berjalan mengikuti jalan setapak yang membelah taman menjadi 2 sisi. Sejurus kemudian ku lihat bangku kosong tak berpenghuni. Aku tersenyum. Ku hampiri bangku itu dan mulai duduk diatasnya.

Aku hirup udara sore itu sedalam yang aku bisa. Sungguh menyegarkan. Memandang pohon – pohon yang sesekali masih menetaskan air dari ujung daunnya sembari merasakan kesejukan aroma tanah yang baru saja terkena hujan namun mulai mengering kembali. Hhmm...perfect. Kuraih tasku untuk mengecek HP, namun justru sebatang coklat yang ku temukan. Ah... baru ingat, kemarin aku membeli sebatang coklat namun lupa menaruhkannya di kulkas. Ku ambil coklat itu dan mulai menikmatinya perlahan. Sembari memandang jauh ke depan, otak ku mencoba merekam kembali apa saja yang telah ku lalui dalam hidup ku. Bila teringat sesuatu yang sedikit menyakitkan, aku termenung, namun saat memori menghadirkan sesuatu yang membahagiakan, aku mulai tersenyum. Mungkin pengalaman hidupku tak sebanyak dan sepenting apa yang orang lain punya. Namun buatku, itu cukup. Aku cukup bahagia dengan hidupku yang sekarang. Sebuah pernyataan yang lebih merupakan upaya untuk mencoba selalu bersyukur. Kata orang jawa, isih untung. Katanya, entah kata siapa, sepahit apapun cobaan yang menghampiri, kita harus selalu bersyukur dan tabah. Kata - kata yang sangat mudah diucapkan, namun sangat sulit diamalkan. Tapi, aku akan terus mencobanya, pelan – pelan. Aku percaya saat ada kemauan pasti ada jalan. Man jadda wajada, man shabara zhafira.

Aku bersyukur memiliki orang tua yang sangat penyayang, walau terkadang bukan dengan cara yang aku inginkan. Aku bersyukur bisa memiliki sahabat yang sangat mengerti diriku, walau ku tahu terkadang mereka bingung dengan jalan pikiranku. Aku bersyukur masih diberi kekuatan iman, walau terkadang masih pasang surut. Aku bersyukur bisa diterima di masyarakat dengan keadaan fisik yang sedikit tak normal, walau pertanyaan menyebalkan itu terkadang masih ku jumpai. Aku bersyukur bisa bergaul dengan mudah di antara teman – teman ku, bercanda dan tertawa lepas dengan mereka. Soal ada pihak yang tak senang denganku, aku rasa itu wajar. Dimana ada pro disitu ada kontra, walaupun sungguh, aku berharap tak memiliki yang satu itu. Aku tahu banyak anak bangsa di luar rumahku yang hanya bisa merasakan pendidikan di dalam mimpi. Oleh karena itu, akupun bersyukur mampu mengenyam bangku pendidikan tanpa harus bersusah payang untuk meraihnya. Aku juga bersyukur studiku lancar, walau terkadang urusan organisasi menyita perhatianku terlalu banyak. Untuk urusan hati [baca : cinta], aku masih terus tersenyum. Aku tetap bersyukur walau sampai sekarang belum ada seseorang di sisiku. Aku percaya, seseorang itu akan datang, cepat atau lambat. Aku hanya belum menemukannya saja. I just have not found him yet. Saat sakit hati datang, kita bukan tidak bisa menyembuhkannya, kita hanya belum mau mencobanya. Jodoh tak akan ke mana. Itu yang dikatakan pepatah klasik. Sebenci apapun kita pada pepatah itu, toh memang ada benarnya. Sudah menjalin hubungan bertahun – tahun, jika memang tak jodoh, ada saja sesuatu yang memisahkan. Singkat kata, Cinta itu sederhana. Jangan pernah berfikir seseorang yang terus menerus 'menjomblo' bahkan mungkin 'jomblo sejak lahir', tidak memiliki cerita soal cinta. Jangan kira cerita cinta hanya milik mereka yang selalu memiliki pasangan. Ah...kalian tertipu jika punya pandangan seperti itu. Terkadang, para penyandang status 'single' justru merupakan kolektor cerita cinta. Hmm....Sudahlah, memang tak ada habisnya jika membahas point terakhir itu.

Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 15.30. Ku hirup sekali lagi udara yang sangat menyenangkan ini. Bibirku meyunggingkan senyum. Senyum yang terkembang. Sudah saatnya senyum simpul beristirahat, digantikan senyum yang satu ini. Ku nikmati gigitan terakhir dari coklat yang aku pegang, lalu berdiri. Ku edarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan mulai sangat sepi. Ku ambil tas yang teronggok di atas bangku, lalu mulai berjalan pulang. Hanya ada 1 kata di otakku saat itu : La Tahzan [jangan bersedih] :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar