Jumat, 24 Juni 2011

Hanya Sebuah Pesan

Hari Selasa, di awal bulan maret, seorang mahasiswi terduduk lelah di antara segerombol orang yang sibuk merajut kata demi kata yang akhirnya membuat diri mereka sendiri tertawa, atau lebih tepatnya terkadang menertawakan diri mereka sendiri. Setelah beberapa saat, dia mulai terseret arus percakapan itu. Saat mereka mulai kehabisan bahan yang berujung pada kesunyian, matanya menangkap sebuah buku tergeletak tak jauh dari tempatnya bersandar. Ia raih buku yang secara kasat mata terlihat baru, dan membukanya lembar demi lembar ato sekedar membolak balik buku demi memastikan apakah ia tertarik dengan buku itu. Saat ia tengah asyik dengan observasi pribadinya, seorang teman yang ternyata empu buku tersebut, meminta apa yang tengah ada di genggamannya. Dengan setengah hati, ia berikan buku itu. Tetapi tak lama si empunya buku hanya sekedar menimbang – nimbang dan meletakkannya. Melihat hal itu, dengan sedikit kesal ia raih buku tersebut kembali dan mulai membacanya. Baru 10 menit menyelam, ia letakkan juga kumpulan kertas setebal 363 lembar itu. Tanpa ia sadari, sang empu buku mengetahui sikapnya dan menanyakannya. Ia mengatakan tak ingin mengambil resiko untuk terus menyelaminya. Sang empu hanya tertawa dengan balasan senyum simpul darinya. Waktu berlalu dan si empu mengatakan ia boleh membawanya. Tanpa pikir panjang ia lanjutkan petualangannya dalam ribuan baris kata - kata. Tak terasa waktu mulai menunjukkan ketegasannya. Jarum pendek terarah ke angka 12 yang diikuti pasangannya pada angka 9. Ia memilih pulang.


Home-05:00 pm…


Telah ia selesaikan 25% dari isi buku, yang berarti baru saja merampungkan cerita kedua. Ia letakkan benda itu dan mulai melambungkan pikirannya. Tanpa sadar, ia mengambil pesan dari cerita pertama buku tersebut. Dia berkesimpulan bahwa sebenarnya suatu masalah hanya persoalan sementara. Tak ada yang tak mungkin terselesaikan bila kita mau memulai untuk menyelesaikannya. mereka yang berseteru, akan berangsur damai bila salah satu dari mereka memulainya dan yang satu bersikap kooperatif. Jangan lupa untuk memperhitungkan waktu dan suasana. Karena itu sangat menentukan. Akan tetapi seperti ini tak selalu berujung manis, bila salah satu dari mereka menodai proses itu.

Secara tiba – tiba sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Saat pintu tersibak, ternyata seorang teman yang lain. Mulailah mereka terlibat pembicaraan yang berangsur – angsur menyingkirkan buku itu dari pikirannya. Saat tamu itu berlalu, ia sambut hand phonenya dan mendapati beberapa message di ponsel itu. Saat ia buka salah satunya, ternyata Sang empu menanyakan apakah buku itu ada padanya ato tidak. Dengan setengah tertawa, ia balas message tersebut dan bergumam

“ bisa amnesia juga ternyata tu orang…untung q ga berniat buat jadiin koleksi pribadi….kkehhee”.




-sebuah cerpen yang sebenarnya tidak bisa dikatakan cerpen-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar