Jumat, 24 Juni 2011

Serpihan Ombak

Kali ini aku berjalan. Sungguh ku tak ingin berlari. Ku ikuti saja kemana kaki ini akan membawa jasadku. Nafasku sedikit berat. Tapi ku indahkan. Hanya guratan guratan warna biru dan abu abu yang terekam oleh retina ku. Aku terus berjalan, dan masih tak tentu arah. Lambat laun kudengar suara gemuruh di kejauhan. Memecah kesunyian, tapi menenangkan. Ironis. Akalku sepertinya sedang tak sehat. Tak bisa ku tafsirkan apa yang ada dikejauhan itu. Namun hatiku tak tidur. Telinga batinku bekerja dengan sempurna, diiringi langkah ku yang tergoda medekati pemilik suara. Sayup sayup namun pasti, mataku menangkap warna biru dan abu abu yang tak lagi bercampur. Keduanya tercerai, sesuai takdir di mana mereka seharusnya berada. Sesaat kemudian, baru ku sadari bahwasanya bumi yang ku pijak tak lagi keras. Tapi lembut, dan menghangatkan. Suara tadi masih menjadi gemuruh, namun jauh lebih teratur. Aku berhenti. Syaraf syaraf otakku sedikit demi sedikit bangkit. Aku tahu tempat ini. Ya...aku tahu. Dan aku menyukainya. Ini pantai kawan. LAUT. Lalu bibirku tersenyum simpul....

Kedua kakiku mulai terayun kembali. Manyisir sepanjang bibir pantai, Tak ada rasa lelah, walau nafas masih sedikit berat. Angin menerpa raga ini dengan kelembutannya, seakan ingin bersahabat denganku. Air laut saling berkejaran. Semuanya ingin menang. Tak ingin kalah. Sama dengan manusia. Mungkin saja. Ada yang berkata manusia adalah serigala bagi manusia yang lain, setidaknya itu yang diucapkan kaum realis. Tapi sudahlah, akalku tak sedang ingin memikirkan hal macam itu.

Ku hirup udara pantai dalam dalam. Sedalam yang bisa ku hirup. Kali ini aku tak lagi berjalan. Dengan jari jari kakiku, ku mainkan pasir pasir yang berserakan. Dan merekapun semakin berserak. Pelan pelan ku bimbing setengah jasad ini menyentuh pasir pasir pantai. Kaw tahu kawan, sekarang ku telah terduduk dengan kedua tangan terangkai memeluk ujung kedua lututku. Segalanya membuatku nyaman. Sapuan angin, pasir yang bersahabat, dan air laut yang masih saling mengejar. Raga ku memang ada di pantai ini, namun pikiran dan jiwaku telah lama tak bersekutu. Memisahkan diri menuju sesuatu.

Aku terdiam, dan menyadari bahwa segalanya mungkin. Ya, segalanya mungkin, walaupun secara tak terduga. Terkadang kemungkinan itu datang tiba tiba, tanpa tahu sopan santun. Aku mulai berfikir hidup ini aneh. Banyak pintu yang bisa dipilih, namun berujung di tempat semula. Ini tak sama dengan terjun ke lubang yg sama untuk kesekian kalinya. Tak perlu berfikir terlalu jauh, bahwa hari esok itu masih gelap. Karena 5 menit yang akan datang saja masih misteri. Tak ada yang tahu. Ya, termasuk diriku. Banyak orang berkata “ikuti saja hidupmu seperti air mengalir”, namun itu tak semudah yang diucapkan. Entahlah, mungkin saja aku sedang bimbang. Hanya iman kepada-Nya lah yang masih membuat kakiku mampu berdiri, bahkan berlari.

Lambat laun aku berdiri, menghirup udara pantai untuk yang terakhir di waktu ini. Setelah itu ku putar badanku dan mulai berjalan. 10 langkah kemudian, aku berlari. Lepas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar