Jumat, 24 Juni 2011

Jurang ironi

Selasa, 1 Februari 2011. Dengan sedikit termenung, seorang gadis di sudut kamarnya baru menyadari bahwa ia telah memasuki fase baru, dengan meninggalkan fase sebelumnya, Januari. Sedetik kemudian, gadis itu mengajukan pertanyaan dengan lirih, apakah kita tahu jika Januari 2011 menurut kepercayaan orang china merupakan bulan yang cukup istimewa? Dia berharap semoga kita mengetahuinya. Jika tidak, gadis itu memberi saran untuk segera menghampiri mesin pencari, yang dapat diterjemahkan seperti ini : double klik google crome di layar desktop masing – masing,

jam di pergelangan tangannya telah menciptakan formasi yang menghawatirkan. 07.35 am. Itu suatu pertanda bahwa ia akan mengalami sesuatu yang buruk jika tidak segera menyalakan mesin motor. Kuliah pertamanya di semester yang tidak bisa disebut awal dimulai pukul 07.30. Ia sudah terlambat 5 menit, dihitung sejak ia masih berusaha mengeluarkan transportasi utamanya dari garasi rumah.

Pukul 07.45 roda motor gadis itu mulai memasuki pelataran kampusnya dan sejurus kemudian mengacuhkan penjaga parkir yang berniat memberinya karcis. Setelah menanggalkan pelindung kepala, ia segera berlari menuju ruangan dimana raga dan jiwanya seharusnya telah berada. Benar saja, sang calon pemberi ilmu telah duduk manis di kursinya. Tetapi alangkah terkejutnya ia saat memutar kepalanya 120 derajat dan mendapati hanya ada segelintir anak adam yang duduk di kursi penonton. Sebagian dari mereka telah siap dengan tinta dan kertasnya, sebagian yang lain sedikit menguap. Perkuliahan baru dimulai 10 menit kemudian. Mungkin sang suhu telah bosan menunggu kapan kuota forum akan tercapai, dan akhirnya menyerah pada keadaan. Selanjutnya, kegiatan yang acap kali disebut belajar – mengajar tersebut bergulir dengan sangat lambat. Setidaknya itu menurut si gadis tadi. Pukul 09.00 am, pemateri masih bersemangat dengan berbagai penjelasannya soal posisi legislatif dan eksekutif di Amerika Serikat, padahal banyak mahasiswa mulai berlaku aneh. Ada yang sibuk tengok belakang tiap 10 detik, ada yang berdehem sampai kerongkongannya benar benar serak, bahkan ada yang sengaja memutar ringtone di Hpnya. Suasana mulai kacau. Maklum, sesi 1 dari 3 sesi yang ada di list jadwal perkuliahan si gadis seharusnya telah berakhir. Salah satu teman gadis itu menyadari bahwa situasi mulai tak terkendali. Dengan keberanian yang seadanya, teman tadi mengangkat tangannya sembari berkata “maaf pak, bukannya tidak menghargai bapak, tetapi setahu kami perkuliahan selesai jam 9. Ini sudah lebih.Maaf pak sekali lagi.” Tanpa dinyana, pegampu mata kuliah tersebut justru berterima kasih karena telah diingatkan dan 3 menit kemudian mengakhiri pertemuan. Mahasiswa satu per satu mulai keluar ruangan dengan mengusung berton ton sumpah serapah yang spontan meledak saat sudah berjarak kurang lebih 500 meter dari kelas. Tak terkecuali gadis itu. Ia merasa sesungguhnya materi tadi cukup menarik, tetapi tak begitu suka dengan penyampaian yang terlalu lambat. 2 menit kemudian si gadis menyerah dengan segala kekecewaan otaknya. Ia percepat langkah kakinya yang tak seirama dan berharap segera menyuplai kadar karbohidrat dan sekutu sekutunya ke dalam lambung. Ya, saatnya makan pagi...merangkap siang,

kelas selanjutnya dimulai pukul 09.30. Artinya lidah dan enzim ptialin sang gadis dipaksa untuk berpacu dengan dua jarum yang terus melaju. Saat jarum panjang merujuk ke angka 6 dan saudaranya bertengger di antara angka 9 dan 10,saat itulah ia sukses menelan porsi terakhirnya.

Loby utama sudah cukup ramai, tetapi tak ada hal berarti yang dilakukan oleh sekumpulan pelajar tersebut kecuali berbincang tak tentu arah dengan raga di sebelahnya. 10 menit berlalu, tapi tak ada perubahan yang berarti. 30 menit telah terlewati, dan nasib masih tak berpihak pada gadis itu. Disimpulkan, kuliah kosong. Badai otak yang sejak tadi telah melanda si gadis kontan terealisasi dalam puluhan baris kata – kata secara tak terkendali. Ia kecewa, untuk yang ke dua kalinya. Ia memilih pulang.

Di kediamannya yang tak bisa dibilang asri dan tak bisa disebut gersang, ia mulai menyalakan laptop yang tak pernah beranjak 1 sentipun dari tempatnya berada sekarang. Beberapa detik kemudian, MS word telah tersaji. Gadis tadi mulai tenggelam dalam pikirannya dan sibuk mematuk tuts keyboard dengan jemari kecilnya. Tak terasa matahari sudah sepenggalah. Jam di dinding kamar telah memperlihatkan 2 jarum yang berhimpit. 12.00 siang. Gadis tadi sadar bahawa ia harus segera kembali ke kampus, perjuangan untuk masa depan belum berakhir. Satu mata kuliah lagi telah menanti.

Kelas telah cukup penuh, sedangkan sang dosen masih sibuk dengan laptop dan LCD yang tak kunjung terhubung. Lambat laun lelah menghampiri dan memaksanya untuk memulai perkuliahan tanpa bantuan alat elektronik apapun. Manusia mudah lelah, tetapi waktu tak mengenal kata lelah. Sesi ke tiga tersebut berlangsung selama hampir tiga jam dan membuat sang gadis kecewa untuk yang ketiga kalinya. Kasian betul. Ia merasa membaca judul mata kuliahnya saja sudah membuat lelah, ditambah dengan penyampaian yang tak sesuai selera dengan durasi yang cukup lama. Lengkap sudah.

Selesai dengan mata kuliah yang tak sesuai dengan selera tadi, segera saja ia melesat menuju kampus sahabatnya. Beberapa urusan eksternal kampus tak sabar untuk ditangani. Waktu terus berlalu hingga akhirnya sebuah gedung pelatihan bahasa telah menantinya. Dengan sedikit gontai, ia lalui sesi terakhir untuk hari itu dengan tak terlalu bersemangat. Sudah terlalu lelah.

Pukul 19.25, semuanya berakhir. Roda motor mulai melaju cepat menuju tempat yang telah sangat dinanti sang gadis sejak pukul 4 sore. Ya, saatnya kembali ke rumah. Jalanan kota tak terlalu ramai, tetapi juga tak bisa dibilang sunyi. Lampu lalu lintas satu demi satu telah dilalui si gadis. Hingga suatu waktu, sampailah ia di salah satu lampu merah yang dalam sekejap mampu menggetarkan hatinya. Di salah satu sudut, terduduk sesosok bocah berkisar kelas 4 atau 5 sd mengenakan rok merah serupa seragam sekolah, menunduk sembari membaca koran nasional di tangannya. Dibalik koran yang dipegangnya setumpuk koran yang sama berada di pangkuan bocah itu, berharap untuk segera terjual. Sungguh harapan yang miris. Jarang sekali ada yang maw membeli koran malam malam. Beritanya sudah basi. Melihat fenomena itu, pikiran sang gadis mulai bergerak mengikuti apa yang ada didalam hatinya. Sembari menatap bocah tadi, ia mulai merasa selama ini tak terlalu bersyukur atas hidup yang telah dikaruniakan Allah untuknya. Memorinya mulai memutar apa saja yang telah dilaluinya hari ini. Dan mendapati dirinya yang mudah menyerah pada perjuangan. Terlalu banyak mengeluh dan kecewa. Sedangkan di sisi lain, tersaji lukisan hidup yang cukup menyentuh. Gadis itu yakin bocah di sudut lampu lalu lintas tadi memiliki semangat belajar dan keingintahuan yang membara. Tetapi keadaan memaksa si bocah tak dapat merealisasikan semangatnya dengan maksimal. Malam yang seharusnya dgunakan untuk belajar, tersubstitusi dengan berjualan koran. Walhasil, koran menjadi tempat pelampiasannya untuk mengetahui isi dunia ini, Andai saja bocah tadi diberi kesempatan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak, besar kemungkinan sosok tadi akan menjelma menjadi aset negara yang tak ternilai. Fenomena bocah tadi sesungguhnya hanya sepercik realita dari danau fenomena menyakitkan yang bisa ditemukan di negeri pengagung kalimat gemah ripah loh jinawi. Si gadis juga mengatakan bahwa kita tentu ingat, ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa terkadang kemiskinan itu bukan takdir, tapi memang ada yang membuat mereka menjadi miskin. Singkat kata, sengaja dimiskinkan..

Sembari melanjutkan perjalanan, sang gadis teringat salah satu halaman di koran nasional yang dibacanya beberapa hari lalu. Di sana tersaji sebuah liputan mengenai gerakan riil pencerdasan bangsa. Ya, GIM [Gerakan Indonesia Mengajar]. Gadis tadi mulai bergumam, andai saja banyak manusia Indonesia memiliki pemikiran yang sama seperti Anies Basweden, keterpurukan negeri ini tak perlu terjadi. Masih banyak PR pemerintah yang tak terselesaikan dan menuntut untuk segera dituntaskan. Sang Gadis merasa mempertimbangkan hal semacam itu jauh lebih manusiawi dibanding terus berdebat mengenai gaji presiden yang tak pernah naik selama 7 tahun.

Tak terasa pelataran rumah mulai terlihat. Sembari memarkir motor, gadis tadi berbicara pada dirinya sendiri. Beruntunglah para kaum terpelajar yang sedang memperjuangkan masa depan. Ia merasa tak sepantasnya para siswa atau mahasiswa mengeluh dalam meraih tujuan hidup, karena masih banyak yang hidupnya lebih tidak beruntung, dan lebih tidak terarah. Sosok bocah penjual koran di pinggir jalan tadi sungguh telah menginspirasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar