Kamis, 24 November 2011

Episode #15


Jalan ini lenggang
Kita mulai berjalan beriringan

Tak ada genggaman tangan
Hanya senyum dan tawa yang berderai

Di sisi kananmu
mendung memilih jauh

Seirama goresan penamu, kaw rangkai episode baru di bukuku
Di lembar yang tak kalah baru

Di sisi kirimu
Segelas kopi masih pahit dilidah
Tak peduli berapa sendok gula kaw larutkan

Kaw...

Tak hanya mengisi lembar lembar bersih itu
Sesekali kaw tengok laman laman hitam

Menyeret mendung kembali pulang

#

Jalan masih lenggang
Tetap hanya ada kita

Tak lama kaw tarik diriku ke bangku usang
Masih dengan senyum dan tawa

Dalam senyap sejenak
Kaw mulai beranjak

Mengajak ku kembali meniti

#

Trung..Trung..Trung...
Kelereng kelereng berjatuhan mencipta ritme

Senyumku mulai simpul
Tawa mu melemah

Di persimpangan,
Kuhentikan langkahmu,
Untuk ku bubuhkan tanda tanya,
Pada naskah yang belum kaw pungkaskan.

#

Dering ponsel menyalak halus
Mengurai namamu pada layarku

Dalam hening kubaca pesanmu
Memelukku hingga sesak

Sekilas aku ingat bukuku
Yang kaw beri tanda jeda setelah baris terakhir

Tak ada yang lain
Tak ada...

Hanya masih
Masih...

Kaw paksa diriku
Membuka laman demi laman dengan caramu
Dan mengisi lembar lembar baru
Masih dengan caramu

Tapi Aku...

Masih...
Dan juga masih...

Bertahan dengan caraku

#

Kaw sadar?
Jalan kita mulai berat

Di suatu sore saat senja turun
Kubaca pesanmu kembali
Untuk ku hapus kemudian..

#

Pada sebuah helaan nafas
Terhempas sebuah tanya klasik

“would you let me be my self?”

 US.. does not mean ‘US’

Selasa, 08 November 2011

Surat...Dari Saat Ini... Untuk Esok


Setetes embun dari rintik sisa senja
Mengalir pelan lewat kopi yang kusajikan sendiri

Lirih terhirup
Dan lembut tercecap
Sebagaimana seyogyanya sebuah kisah kumaknai

Tak salah
Hanya lembaran kosong yang mulai sarat goresan
Dan mungkin lusuh kemudian

Lusuh karena tetap kusimpan
Rusak berserakan
Dan kumal oleh waktu

Sejenak.. derai tawa sederhana mengiringi sebuah tegukan

Tak perlu sesal
Suatu ketika kan ku tunjukkan

Pada mereka yang mulai tumbuh dewasa
Pada ia yang selalu berucap 'selamat pagi'
yang tak alpa mengecup keningku seiring sentuhan fajar

Lebih???
Tidak..

Sungguh..

Hanya secuil impian sederhana
yang baiknya kusimpan sendiri

Dari ku
Untuk (calon) mereka
Untuk (calon) ia
Dan untuk kopi yang telah kutandaskan bersama malam

Penat


Semuanya...

Terasa Lebih Baik

Saat Hujan Turun

DI keheningan

Malam ini.............



*Ya Allah.... maafkan aku.

Percakapan Apik (diambil dari buku 'Madre'-DEE)


“Tenang aja. Kamu kan pasti uda punya SOP (standart operating prosedure) nya.”

Starla menggeleng. “Biar endingnya sama, respon mereka beda – beda. Ada yang gentleman, ada yang tahu tahu nangis semalam suntuk, ada yang ngambek terus banting – banting barang. Aku nggak pernah tahu pasti, Che. Nggak ada SOP untuk menghadapi yang beginian.”

“Dan kamu tetap aja nggak kapok – kapok.”

Posisi duduk starla langsung menegak. “kami dua orang dewasa yang bisa tanggung jawab atas keputusan masing masing, oke? Apa salahnya saling suka, jatuh cinta, mencoba – coba? Semua yang di dunia ini juga dilewati pakai proses itu. Mau pilih mobil kek, mau pilih baju....”

“kalau kita tahu pasti apa yang kita mau, ngapain buang – buang energi buat coba – coba? Masalahnya, kamu nggak pernah tahu yang kamu mau.”

Starla memilih diam.

 -------------------------------------------------------------------------------------------

“Suatu saat nanti, aku akan punya rumah sendiri, di atas gunung,” tutur Starla sambil memandangi refleksi cahaya yang membuat anggur putihnya tampak berbutir – butir emas. “Aku akan punya suami yang baik dan setia. Kami punya dua orang anak yang lucu – lucu.. Satu laki – laki, dan satu perempuan..”

Spontan tawaku menyembur. “Ternyata, di balik kecanggihanmu, mimpimu super standar. Tampilan aja milenium, isinya maemunah.”

“Masih lebih bagus dari pada manusia nggak punya mimpi kaya kamu.”

“Aku punya mimpi!” balasku cepat. “Aku bakal jadi arsitek spesialis gedung pencakar langit nomor satu di negeri ini. Nanti rumahku berhalaman luas, di pinggir jakarta, dan...” mataku memandang jauh ke tempat yang cuma aku yang tahu, “ada seorang istri cantik yang jago masak. Anak kami laki – laki, cerdas, jago main game. Istriku bawa sepiring kue buatan sendiri yang masih panas, memanggil manggil aku dan anakku yang keasyikan main game...” ocehanku berhenti. Apa yang baru saja ku katakan?

Strala tersenyum lebar. “Tampilan Supermen, isinya suparman,” komentarnya.

Aku melengos. “Setidaknya aku bisa menghargai perasaan orang.”

“Kamu pikir aku nggak bisa?”

Sebelum kuutarakan unek unek yang sudah menahan bergantung di kepala, kutandaskan sisa anggur di gelas. Biar nanti kujadikan fermentasi anggur kupas ini kambing hitam yang merusak persahabatanku dengannya.

“gini analoginya. Aku suka lukisan. Tapi untuk punya satu, aku bakal berkunjung ke puluhan galeri dulu, baru menentukan pilihan. Nah, kamu itu kolektor. Kamu borong apa saja yang kira kira bagus, tapi bukan untuk dimiliki. Kamu jual lagi barang barang berharga itu kaya dagang sembako.”

“kamu lagi ngomongin apa, sih, sebenarnya?”

“Aku lagi bicara soal Rako, lalu si produser rekaman, si gitaris, kontraktor, foto model, aktor sinetron, atlet basket, dosen, pengacara, pengusaha restoran, sampai gay yang mau jadistraight demi kamu. Mereka bertekuk lutut demi kamu bawa pulang. Tapi semuanya lewat begitu aja barang dagangan. Kamu ngak mau memiliki dan dimiliki siapapun. Tapi kenapa terus mencari dan menyakiti orang?” Dadaku samar naik turun karena semua kalimat tadi kuucapkan tanpa mengambil nafas. Tinggal menunggu Starla menyemprot balik.

Namun wajah cantik itu malah terlihat melunak. Pandangannya dibuang ke jendela. “Aku juga bingung apa yang sebenarnya ku cari.” Jawabnya lirih, kemudian menoleh padaku. “Yang jelas aku nggak kayak kamu. Bertahan dalam kesepian.”

Aku nyaris keselak. “kesepian? Hei...”

“Selama ini kamu pikir apa artinya hidup kamu yang konstan kaya mesin pabrik? Lagu – lagu pembangkit mood yang kamu racik kayak apoteker bikin obat? Kamu kesepian.”

Mulutku seperti dikunci.

Starla dengan tenang melanjutkan, “Hidup kayak robot adalah satu satunya cara yang kamu tahu untuk melindungi dirimu dari sepi. Kamu takut spontanitas. Kamu takut lepas kendali. Kamu ingin cinta, tapi takut jatuh cinta. But you know what? Kadang – kadang kamu harus terjun dan jadi basah untuk tahu air, Che. Bukan cuma nonton di pinggir dan berharap kecipratan.

Rahangku terasa mengeras, susah payah menelan omongan itu. Lama aku diam. Otakku berfikir dan berputar.


“Oke, Miss Freud, saya juga punya analisis tentang kamu, “ diafragmaku mengencang mengambil ancang ancang. Selama ini, kamu mengisi kekosonganmu dengan sibuk mengisis kekosongan orang lain. Saking kamu sibuk sendiri, mereka nggak pernah diberi kesempatan untuk mengisimu balik. Jadi wajar aja kalo nggak satupun dari mereka bisa memuaskan kamu. Kamu selalu merasa ada yang kurang. Tadinya saya pikir dunia ini nggak adil, Starla. Ternyata saya salah. Dunia ini adil. Cause you know what? Kemana mana kamu selalu kelihatan berdua. Tapi sebenarnya kamu sendiri. Selalu sendiri.”

Kening Starla berkerut mendengarnya.

“Nah, kembali ke analogimu tentang air itu,” aku tersenyum, “kamu memang terjun ke air. Tapi kamu pakai baju selam.” Tandasku puas.

Sesuatu menggugahnya. Ekspresi Starla mulai berubah. “Kamu benar. Ternyata kita sama, Che. Aku dan kamu sama sama manusia kesepian. Bedanya, aku mencari, kamu menunggu,” ucapnya lirih.

Tangannya tiba tiba meraih tanganku, hangat..

Minggu, 16 Oktober 2011

Intermeso... Mungkin


Hey.. kau percaya pertemuan? Perpisahan? Masa depan? Dan mungkin waktu? Kau percaya semua itu?
Pertanyaan yang sangat sederhana, terlalu sederhana mungkin. Hanya terdiri dari 3 sampai  4 suku kata. Tapi banyak dari kita butuh 3 - 4 menit untuk menjawabnya, atau mungkin 3 -4 jam, atau 3 – 4 hari, atau 3 – 4 tahun?? Ah..lupakan saja.

Pertemuan. hmm... seorang ekstrovert pasti sangat suka kata yang satu ini. Bertemu dengan berbagai karakter manusia, pasti menyenangkan baginya. Apalagi manusia itu belum benar benar dikenalnya, atau mungkin tidak kenal sama sekali. Memberanikan diri menyelami kepribadian seseorang, seperti menguak misteri yang sangat abstrak.  Aku percaya pertemuan, karena kita makhluk sosial. Aku percaya pertemuan, karena tanpa itu, dunia terasa sempit. Dan aku percaya pertemuan, karena pertemuan memberi kita kesempatan untuk lebih banyak berbagi senyum dan tawa.

Perpisahan. Ah.. banyak orang membenci kata yang satu ini. Tapi sebenci bencinya, kita tak bisa menafikan kehadirannya. Jika aku percaya pertemuan, dengan sedikit paksaan aku harus percaya perpisahan. Masalah akan terjadi atau tidak, itu nanti. Anggap saja persiapan mental. Yang jelas ku pikir sangat perlu untuk percaya perpisahan. karena perpisahan sampai kapanpun akan terus membayangi pertemuan. Pernahkan terlintas dalam bayangan, bertemu di jalan tanpa sengaja dengan seseorang yang sangat dikenal di masa lampau, namun hanya saling memberi senyum simpul dan berlalu. Ah.. menyedihkan sekali. Tapi setidaknya, perpisahan menghadirkan pertanyaan baru... ‘siapa yang akan ku temui selanjutnya?’.

Masa Depan. Siapa yang tak percaya masa depan? Hampir semua manusia di muka bumi percaya masa depan, kecuali yang tidak. Tanpa percaya masa depan ku pikir kita hanya raga dengan jiwa yang mati. Masa depan memacu kita terus bergerak. Masa depan meyeret senyum saat pkiran berusaha membuat angan. Dan tentu masa depan membuat kita percaya Allah.

Dan waktu??? Aku mulai tak sepaham dengan orang – orang yang mengatakan bahwa segalanya akan selesai seiring waktu. Syapa bilang? Mungkin memang benar sesuatu itu akan selesai.. tapi sepertinya bukan selesai dalam arti sebenarnya. Semu dan mungkin palsu. Beberapa saat yang lalu, aku dan sahabatku berbincang soal ini. Dan kami sepakat bahwa menyerahkan segalanya pada waktu hanyalah omong kosong. Segala sesuatu tetap ada di tangan Sang pencipta dan yang dicipta. Kita lah yang sebenarnya berandil besar dalam apapun atas hidup. Senada dengan catatannya, terakhir kali menyerahkan segalanya pada waktu, tidak kunjung membuat segala sesuatunya selesai. Waktu hanya membuat kita lupa dengan keadaan, tapi tidak hilang, yang mungkin akan muncul suatu ketika di masa depan sebagai bom waktu. Ironisnya, waktu sendirilah yang (terkadang) membuat kita mulai meragukan keberadaannya.

Tapi yaaa.... Aku percaya waktu, karena ia takkan pernah berdusta. Namun lebih percaya pada diri manusia, walau banyak dari kita tak sadar bahwa sesungguhnya manusia lebih mampu dari pada waktu. Lebih lagi, aku sangat percaya Allah, karena untuk hari ini, besok masih milik-Nya.

Sekali lagi, senada dengan sahabatku,

Sekedar simpatik, sayang, atau cinta, mungkin aku harus lebih banyak belajar untuk membedakan ketiganya.

“Walau tak pernah sekalipun kita membicarakan tentang ‘kita’. Terlalu burukkah kenyataan bahwa (seandainya) aku mulai menyukaimu? Jika iya, buat aku mengalir bersamamu tanpa harus hanyut. Karena bila suatu saat kaw pergi, setidaknya aku telah percaya perpisahan.”

Senin, 03 Oktober 2011

Bisik Halus


Udara di sini cukup dingin. Dan kabut masih saja terlihat di mana mana. Sepanjang mata memandang hanya pohon pohon dengan batangnya yang kuat dan daun daun yang rimbun. Ku tarik nafas dalam dalam, dan menghembuskannya perlahan. Ku lihat asap tipis keluar dari mulutku. Mirip sekali seperti di film film korea saat musim dingin. Walau aku tau jelas jelas ini masih Indonesia.

Secangkir teh hangat bertengger erat di antara kedua telapak tanganku, mencoba memberikan sedikit rasa nyaman. Badanku sedikit menggigil. Sweater ku basah, percuma saja bila ku pakai, justru semakin dingin rasanya. Kakiku tak begitu buruk nasibnya, karena dibalut kaos kaki tebal, sembari mendekat pada sisa sisa api unggun peninggalan semalam. Walau tak menyala, hawanya masih panas.

Lambat laun kabut mulai menurun dan pepohonan terlihat utuh. Masih dengan secangkir teh hangat, sebuah bisikan mengagetkanku pelan.

                “ hey, lihatlah gadis di ujung sana”

Ku edarkan pandanganku, mencari pemilik suara. Tak kudapati siapapun didekatku. Di kejauhan, rekan rekanku sibuk dengan urusannya sendiri. Dan aku sengaja mengasingkan diri. Rasa penasaran mengalahkan ketakutanku pada suara tak bertuan. Kucari gadis yang dimaksud. Dan mendapati beberapa. Tiba tiba saja suara itu muncul lagi

  “ iya di situ... tapi lihatlah yang paling berbeda”

Yang paling berbeda? Aku tak mengerti. Sepertinya mereka sama saja. 3 gadis dan 2 laki laki, Masing masing dari mereka mengenakan jaket tebal, bersenda gurau riang, sesekali berfoto foto, dan tak terlihat ada yang special. Lama aq memperhatikan mereka. Suara itu datang

                “ Tak bisakah kaw lihat...gadis dengan senyum sederhana itu”

Gadis dengan senyum sederhana? Ah, mungkin yang itu. Gadis dengan gaya kasual, Jaket hitam, dan sepatu kets biru dongker. Ah, tapi apa yang menarik?? Sepertinya byasa saja. Suara itu kembali mengagetkanku, seolah menjawab setiap pertanyaan yang ada di benakku.

                “ Jangan kaw pandangi penampilannya... lihat sisi yang lain. Sorot matanya”

Sorot matanya?? Sejenak kupandangi terus gadis itu. Dan sepertinya ia tak menyadari kelakuanku. Okay... sorot matanya memang sedikit berbeda. Terdapat keteduhan sekaligus lelah di sana. Jika tak diperhatikan dengan seksama, memang tak akan nampak. Keriuhan itu melaksanakan tugasnya dengan sempurna, mewujud kamuflase.


Aku mulai tertawa kecil mendapati ini. Tak pernah sebelumnya ku perhatikan gerak gerik manusia di sekelilingku. Jika semuanya tertawa, pasti semua bahagia. Itu fikirku dahulu. Gadis itu tak pernah melepaskan senyumnya, namun sorot matanya jelas tak bisa menipu. Saat yang lain lengah, terkadang ia memilih memandangi entah apa di kejauhan.  
Aku tersenyum simpul. Sebuah pertanyaan melekat di otakku. Apa maksud ini semua? Siapa atau apa suara tadi?

  “ aku adalah aku... dan kaw tak perlu tau apa atau siapa aku. Aku hanya ingin membuatmu tersadar, banyak  hal di dunia ini yang luput dari mata kalian. Jadi, menurut u ini apa??”, jawab pembisik

 Aku menjawab,

  “ Tak semua senyum adalah senyum... tak semua yang tertawa, itu bahagia”


Dan suara itu tak pernah terdengar lagi.................. Sunyi....

Sisi Cerahmu


Pada satu sisi
Sinar pagi menembus lubang lubang kecil di dinding rumahmu..
Mencipta sorotan sorotan eksotis, mengukir bayangan semu.
Seekor kupu kupu biru menyelinap cantik lewat ventilase ruangmu
Menyuguhkan kedamaian layaknya etalase toko bunga pegunungan

Ku lihat wajah teduhmu
Menyiratkan kekuatan sekaligus ketakutan
Mata itu masih terpejam... Walau mungkin sesungguhnya terjaga

Ah.. sinar itu mulai bergerak pelan menyinari wajahmu..
Semakin menguatkan bahwa kaw pantas untuk dicintai...

Sekumpul memori berkelebat cepat di depan mataku..
Menyuguhkan cerita cerita masa lalu mu..
Dalam diam mu, kau bicara
Mengurai semua itu padaku...

Satu yang kukagumi darimu..
Senyummu akan selalu nampak setiap pagi..
Ah... tidak hanya pagi... kapanpun..kaw selalu tersenyum

Senyum termanis yang bisa kau berikan...walau mungkin siang dan malam akan pahit..
Ya... aku suka senyummu

Dan sekarang... sedikit lirih ku bicara padamu...
“bangunlah.... ada lagu untukmu pagi ini... kau pasti suka” :))

Minggu, 25 September 2011

Cerita Kertas


Kertas ini masih putih dahulu
Setiap noda terhapus dengan mudah

Segalanya indah walau sesungguhnya pahit
Dan senyum terus terkembang setiap harinya 
Walau aku belum tahu bagaimana caranya tersenyum

segalanya berlari...
Senja... di tempat itu... 

Kertasku tak lagi putih
Warna warni noda terserak diatasnya, terlalu bengal untuk memudar

Segalanya rumit
Segalanya berliku
Segalanya kejutan

Mungkin segalanya (masih) pahit, kawan
Tapi aku telah tahu betul bagaimana sebuah senyuman harus ku ukir..

karena hidup... harus tetap terasa indah.... 

Senin, 19 September 2011

2


Beberapa waktu lalu, disebuah toko buku. Kami berdua sedang berjalan menyusuri barisan buku buku yang tertata rapi di masing masing rak, ketika tiba tiba kaki kami secara serempak berhenti di depan salah satunya. Di bagian atas rak, tertulis ‘recommended books’. Disana berjajar buku buku dari penulis penulis ternama Indonesia. Tak ada yang bicara, semuanya diam. Menatap barisan buku itu sembari sibuk dengan pikiran masing masing.

Setelah beberapa lama, salah satu dari kami membuka suara.
“Hanya beberapa buku saja dari tulisan Andrea Hirata (penulis tetralogi laskar pelangi) yang aku baca.. 2 atau 3 buku saja. Sepertinya 2.“, ucapnya.
“Kenapa? Aku hampir membaca semua karyanya”, timpalku.
“entah... tapi aku tak terlalu suka bahasa penulisannya. Bagiku yang orang awam.. bahasa yang dipakainya terlalu liar.”
Mendengar penjelasannya, aku terdiam. Memilih untuk tak membantah. Namun otakku tak berhenti mencerna kalimatnya. Orang awam??terlalu liar?? Terlalu berat maksudnya?? Masa sih?? Aku nyaman nyaman saja membacanya. Namun dari semua kata katanya, ada beberapa yang membuatku tersenyum : Bagiku yang orang awam. Haha... aku tertawa dalam diam. Yang benar saja, kaw bergelut dengan itu semua. Dan mungkin merintis untuk membuat namamu berada di sana, di salah satu rak. Merintis... ya.. kaw tengah merintis. Aku tersenyum kembali.

Sesampainya di rumah, aku kembali teringat kejadian siang itu. Setelah beberapa lama menimbang nimbang, aku berfikir sepertinya dia benar. Mungkin itulah kenapa pada buku pertama andrea hirata ‘Laskar Pelangi’ terdapat laman glosarium di akhir buku. Aku tersenyum, untuk yang ketiga kalianya.

20 menit kemudian, setelah makan malam.

Kuraih sebuah novel bercover merah yang tergeletak di atas meja belajarku. Tak banyak kata dihalaman depan buku itu. Hanya sebuah angka besar tercetak jelas di sana : 2. Sembari menikmati alunan lagu lagu instrumental, aku bolak balik buku yang ada di tanganku. Buku itu baru saja selesai aku baca kemarin.

2. teman teman pasti bingung mebacanya. Judul bukunya memang ‘dua’. Yang aku tebak, sepertinya penulis buku ini menyukai sesuatu yang simple tapi bermakna, dan tentunya dia menyukai angka. Entahlah, itu hanya tebakanku saja.

Novel ini ditulis oleh Donny Dirgantoro. Aku mafhum kenapa orang – orang berminat atau setidaknya tertarik untuk membelinya (atau meminjam). Hal itu lebih karena buku pertamanya ‘5cm’ menjadi salah satu buku best seller indonesia. Mereka berfikir, sepertinya buku ke duanya cukup menarik, yang juga berjudul 2 (dua). Aku akui buku pertamanya cukup keren dan menggugah. Banyak nilai nilai moral di dalamnya.

Novel ‘2’ memiliki 418 halaman, dengan 11 buah sub judul. Buku ini diterbitkan pertengahan tahun 2011, terinspirasi dari ide salah satu sahabat Donny yang kemudian ide itu tidak pernah lepas dari keningnya. Novel ini bercerita tentang seorang gadis yang ‘kelebihannya’ merupakan kekurangannya. Gadis ini semenjak lahir, atau mungkin sejak dalam kandungan, sudah menyukai bulutangkis. Tak ada yang lebih diinginkannya selain bermain bulutangkis dan membuat orang tuanya duduk di salah satu tribun melihatnya bertanding. Dan berharap sebuah senyum kebahagiaan di akhir pertandingan. Namun sayang, setiap orang memang punya keinginan, bahkan yang terkuat sekalipun, tetapi tetap saja keputusan ada di tangan Allah. Jalan yang harus dilalui untuk mewujudkan cita citanya tak selalu mulus, bisa dikatakan terlalu sering tidak mulus. Terjal sekali. Namun, seperti ada di kebanyakan buku buku berbasis motivasi, semangat dan perjuangannya tak pernah surut. Tak seorangpun bisa menghentikan langkahnya, sekalipun itu adalah ‘kelebihannya’.

Saat membaca buku ini, diawal mungkin teman teman akan merasa sedikit bosan, karena itulah yang aku alami. Menurutku, Donny terlalu banyak melakukan pengulangan kata. Dan seperti yang telah teman teman ketahui, buku ini bertema bulutangkis, mengingatkanku pada film Indonesia ‘KING’ yang bertema sama. Membaca buku ini seperti memindah film ke dalam tulisan. Hanya saja dengan permasalahan dan latar yang berbeda. Dibandingkan dengan buku pertamanya, ‘5cm’ memang masih lebih unggul. Jalan cerita lebih menarik. Namun dari segi bahasa penulisan, ‘2’ lebih mudah dimengerti. Bahasa yang dipakainya sungguh sederhana dan ringan. Jika kembali ke cerita di awal tulisan ini, memang buku Donny Dirgantoro lebih mudah untuk dibaca daripada buku Andrea Hirata yang kata salah satu sahabatku ‘liar’. Apalagi untuk teman teman yang suka dengan buku motivasi dalam bentuk novel, buku ini tidak terlalu buruk.

Dari buku ini, aku belajar bahwa bermimpi saja tidak cukup. Seharusnya impian tidak perlu terlalu sering dibicarakan... tetapi diperjuangkan. Dan kaw tahu?? Segala sesuatu itu diciptakan 2 kali.. dalam dunia imajinasi dan dalam dunia nyata. Ingin tahu kenapa?? Baca bukunya....

Untuk soal Andrea Hirata dan Donny Dirgantara, aku rasa tidak masalah. Justru dengan berbeda, akan menambah variasi buku buku indonesia. Sastra Indonesiapun menjadi semakin berkembang. Masing masing dari mereka memiliki pasarnya sendiri, tinggal kita mau memilih yang mana. Kalau aku, pilih dua duanya... J

p.s : ini review??anggap saja begitu...hhe

Sabtu, 27 Agustus 2011

VB... ILoveYou [Review Buku]


VB. Singkat. Eh, tapi itu beneran nama manusia lo , bukan nama mobil.

VB itu singkatan dari Valiant Budi. Seorang penulis yang rela jd TKI [jangan dibalik, karena artinya bisa sangat beda], demi obsesinya dengan Timur Tengah. Dan seperti yang telah terbaca di awal, aku jatuh cinta, tapi bukan sama penulisnya ya.. lebih tepatnya sama tulisannya. Kenapa? Karena sesungguhnya aku bingung, ini buku genre nya apa si?? Isinya serius tapi gak formal. Kalo dibilang komedi juga gak 100%. Maw disebut ngeri, tapi sukses bikin aku ngakak sendiri kaya orang sinting padahal bahasanya kadang [baca : rada sering] sarkastik bin sadis. Entahlah, tapi di mataku buku ini [cukup] keren.

Pertama kali liat buku ini aku langsung suka, soalnya covernya bagus.. hhe [gak penting]. Judul bukunya “KEDAI 1001 MIMPI”. Buku ini diterbitkan tahun 2011 [entah bulan apa, tapi masih termasuk baru kan untuk kategori buku], punya 443 hal, dengan total keseluruhan 40 bab. Diambil dari pengalaman VB dan beberapa rekan TKI yang bertahan hidup di Saudi Arabia dan selalu rindu Indonesia. Seperti yang aku bilang di awal, sebenarnya isinya sedikit sensitif tapi ditulis dengan gaya setengah komedi. Kenapa setengah?? Karena ada juga bagian yang emang ditulis rada serius dan menurutku ia menulis dengan...emosional tinggi. Hmm... tapi mungkin itu yang membuatku suka dengan buku ini. Aku suka dengan tulisan tulisan segar yang tak meninggalkan esensi dari isi buku. Pembagian antara gaya penulisan serius dan kocaknya proporsional. Kalo 100% komedi, sepertinya aku malah tak terlalu minat. Pernah dulu pinjam salah satu buku nya raditya dika, tapi baca beberapa bab uda langsung pensiun cuma nagkring di rak buku tanpa tersentuh. Sampai akhirnya ku kembalikan pada empunya... berbulan bulan kemudian. Pas sekilas baca bukunya Pidi Baiq juga tak mebuatku langsug meyerbu togamas.

Oke..mari masuk ke isi buku. Cerita ini diawali dengan lolosnya si VB sebagai bartender di sebuah perusahaan coffeshop kelas internasional cabang Saudi Arabia. Ingat, Saudi Arabia gak cuma ada jeddah, mekkah, dan madinah, tapi juga ada riyadh dan teman temannya yang lain. Yang membuat shock, hari pertama kerja ternyata dia uda langsung sempurna jadi babu tanpa cacat. Jangankan Pelatihan serius, penjelasan sederhana pun tak ada. Ibarat orang yang gak bisa renang, langsung disuru surfing. Belum lagi orang orang mengira dirinya berasl dari filipina dan bukan Indonesia. Tapi sekalinya mereka dengar kata Indonesia, yang terlontar adalah “kok indonesian bisa b.inggris”,”kok kamu lumayan tinggi ya”, “kok kamu tau lagunya Black Eyed Peas” dan kok..kok..kok.. yang lainnya. Pesan pertamaku, temukan pertanyaan tersadisnya!! Itu semua belum termasuk cerita soal musim panas 50 derajat, rumah sakit [mungkin] teraneh di dunia, merasa hari homo sedunia [ ternyata SA punya stok homo berlimpah ], luluran pake pasir, kenyataan bahwa fugsi KTP di saudi ‘bagai matahari dan bumi’ sama di Indonesia yang KTP-nya keluar dompet pas mau ngisi kupon undian doank. Ada juga kisah mendadak jadi penerjemah SMS, dan juga ketemu pelanggan toko yang : nasionalis, arogan, haram, tersesat, linglung, yang juga pelayan, amnesia, plin plan, sok tau, posesif, juga kebarat – baratan.

Itu semua Cuma sebagian kecil dari isi buku. Pas membaca buku ini mungkin kalian akan bingung untuk berekspresi : musti miris, sedih atau ketawa ngakak. Dan untuk kesimpulan, aku setuju dengan salah satu kata kata di dalam buku ini : There’s a thing that money can’t buy, it’s called ATTITUDE. Kenapa? Kalian akan tahu jawabannya sepanjang membaca buku ini... pesan keduaku, ikuti kata hati saat membacanya :))




P.S :

- - >; Ini Review? Sudahh.... anggap saja begitu...hhe

TO :

- Yang sudah baca : apakah anda setuju dengan saya?? Ku harap iya

- Yang belum baca : RECOMMENDED!!!!

- Mahasiswa HI : penting banget, apalagi yang konsentrasi dunia islam [byar gak terpatok ke politiknya aja, tapi juga budayanya]

- Jatmiko Hadi Wibowo : Serius deh...aq pengen cabut pernyataan ‘iya’ ku untuk mengembalikan buku ini ke tanganmu... toh, aq pernah melakukannya sekali.. Sekali saja.. ya.. sekali. Ya Allah maafkan aq......................... tapiiii...sepertinya tak sulit untuk melakukan yang kedua kalinya.. [kata bijak : orang bodoh adalah yang maw meminjamkan bukunya, tapi lebih bodoh lagi orang yang mau mengembalikan buku yang dipinjamnya] hahaha.... sesat.... ketauan de kalo cuma minjem... ^^v

- Aku : sepertinya dia bisa masuk list penulis favoritku bersama Andrea Hirata, Donny Dhirgantoro, dee, Pramoedya Ananta Toer, Fuadi, dan Ilana Tan.

Rabu, 17 Agustus 2011

Sebuah Ketukan

Matahari cukup terik. Aku berjalan sedikit terseok dengan jas merah membalut tubuh. Sebuah alas tulis dan beberapa lembar kertas kudekap erat. Sesekali ku tengok pergelangan tanganku, berharap jarum jam berputar tak terlalu cepat. Tak banyak orang yg ku jumpai di luar rumah. Kebanyakan bersembunyi di balik tingginya bata bata atau beberapa mengintip dari labirin labirin gubuk mereka.

Dengan hanya berbekal senyuman sederhana dan sapaan seramah mungkin, ku beranikan mengetuk tiap pintu yg mungkin sedikit terbuka. Beberapa membalas senyumku, namun tak jarang yg acuh saja. Setiap langkah hanya doa yang terucap, berharap segalanya manis.

Satu jam berselang.., masih ada beberapa lembar yg belum ternoda tinta hitamku. Aku terus berjalan, walau matahari masih saja terik. Yaa... Beginilah nasib ilmuwan sosial. Pernah kalian lihat laboratorium terbesar di dunia??? Aku yakin pernah, mungkin sering. Hanya saja terkadang kalian tak menyadarinya. Bahkan aku berani bertaruh, kalian adalah bagian dari laboratorium itu sendiri. Yaa... laboratorium milik ilmuwan sosial adalah laboratorium terbesar di dunia. Jangan di tanya apa isinya, semuanya ajaib.

Waktu terus berlari, tak peduli keringat yang mengucur dari balik kerudungku. Tak lama, sebuah rumah mengusikku untuk berjalan ke arahnya. Berharap selembar kuisioner terisi lagi. Pelan – pelan ku buka gerbang rumah itu, dan berjalan menuju pintu yg sedikit terbuka. Ku edarkan pandangan ke sekeliling, memastikan seseorang berada di salah satu sudut bangunan. Sayang, tak terlihat seorangpun.Sebagai penyemangat, ku tarik nafas panjang dan menghembuskannya, lalu bersiap mengangkat tangan. Tentu saja tak ketinggalan senyum termanis yang bisa ku berikan, karena hanya itu milikku.

Sebuah jariku telah setangah terayun, saat tiba tiba ku dengar sebuah suara. Sayup sayup, namun makin lama makin jelas. Saat segalanya benar benar terang, ku turunkan tanganku perlahan dan tertegun. Urung niatku untuk mengetuk pintu. Kalian tahu?? Didalam rumah itu, entah siapa, di siang yg cukup menyengat, dan pada jam yang sebagian orang memilih terlelap... seseorang tengah membaca Al-quran dengan khusuk. Tak terlalu keras memang, tapi cukup terdengar dari balik pintu rumahnya. Beberapa menit ku nikmati alunan suara itu. Menentramkan.

Memang semua orang tahu, saat itu masih bulan Ramadhan, saat semua umat islam berpuasa dan berusaha beribadah sebanyak mungkin. Entah aku yang tak tahu, tapi jarang yg seperti itu. Segelintir saja, tak banyak.

Sebuah senyum simpul ku ukir siang itu, sembari melangkah menjauhi rumah tadi. Pelan. Tak ingin mengganggu. Memang kuesioner ku penting, tapi tak sampai hati tanganku mengetuk pintu itu. Sejurus kemudian justru belasan pertanyaan yang berkecamuk di otakku : “Sesering apakah kaw baca Al Quran yg bertengger di lemarimu itu? Atau jangan jangan telah berdebu. Sudah berapa jus yang kaw baca sepanjang ramadhan ini? Ah.. iya.. kaw habiskan waktu berjam jam menyelesaikan puluhan bait kata kata di buku favoritmu, tapi tak bisakah kaw luangkan sedikit waktu untuk membaca beberapa ayat Al – Quran?? Dll...”

Huff... siang yg indah, fikirku kemudian.

Jumat, 29 Juli 2011

Menyisakan Jejak

Hai... Kubuka tirai ruangmu perlahan dan terdiam kemudian.

Selangkah kucoba susuri sebaris jalan, ada hawa yang berbeda.


Jujur kukatakan padamu denting jarum itu menggangguku !!

Memaksaku mengingat akan masa


Tak lama kulihat seonggok kertas dengan pena disisnya.

Aku yakin itu milikmu.... semua orang tahu itu.


Ku raih penamu dan mulai meracau di kertasmu juga.

Tak peduli apapun... tentang apapun.


Sebaris ruang tersisa di pangkal kertas,

dan kuhentikan penamu untuk kaw lanjutkan esok hari tanpaku.

Senin, 25 Juli 2011

Unexpected

Hey... its me, the owner if this blog. Hmm... actually i seldom tell openly about my life. Sometimes i just put a bit vent in my story. But, this time, i think i really want to tell you what i feel. Its about karma [ i dont really know how to call it in english, so..from now on, we call it in indonesia’s language].

Karma. I know all of you ever hear about this word. But i think not all people believe in it. My question is, do you believe in karma? Some people a bit hard to believing something without any prove, including me. I believe that everything in this world has their own consequences, but i think not always on the same way. The definition of karma in my mind is when you hurt someone, you will be hurted by someone else in the future. But we can not apply it to all people. Many people in this world havent experienced it yet.

Some days ago, suddenly i remembered this word. I thought maybe i was experiencing it. If it is true, i have been experiencing it for 5 month. And i think i have got 2, or maybe 3. Oh..my God. Hopefully it is not true.

So long ago, when i was in senior high school, i was closed by 2 mans. Both of them so kind and had their own way to get my heart. One of them told me about his feeling by short message service. And you know?? I didnt like it. I prefer be shot directly to indirectly. Because i feel that the effect is different, especially for me. Back to the first man. Before that, i was so closed with him. I regarded him as my brother. After he shot me, i was so afraid to meet him. I didnt know why. I just felt a bit worrie when i had to meet him. In short, i always run and tried to stay away. It happened for about a year, whereas we were in the same club.

Now, we move to the second man. This man so atractive and also has high confident. He treated me so well. Too well i think. He sent me his messages almost every day and sometimes he called me. One day, we watched movie together. He invited me and i accepted it. On the cinema, he brought me the ticket and a glass of coffee of course with a big box of corn. I felt uncomfortable on that time. After the film, he offered to have lunch, but i tejected it. On my mind, i just wanted to arrive at home as fast as i can. But, after we arrived at home, he didnt back earlier. Without my permission, he entered to my terrace and sat down, and then gave me a necklace in a red box. The situation made me feel more..and more weird. Time went by. After that day, he dissapeared. He never sent me message anymores..and of course never called me. When we met in an event, i always tried to stay away from him. I seldom talked to him. I just said hello and then went to another place. It happened for about 8 months.

For the third man, he was my ex. We didnt speak each other for about one and a half year whereas we were in the same class. Can you imagine it??? I never talked to him, i never went with him, and of course i seldom sat together with him. But now, everything is clear. We become a friendship again, and he already have a girlfriend. How nice.. J

Thats all my 3 cases. And now, do you know what happend?? A bit weird but real. Some months ago, i closed to someone. Actually didnt really close. Since the first time i met him, he just kept quiet. There were so many rumors between us, but, once again, he just kept quiet. Time went by, sometimes he sent me his messages. When we met in social network we chated alternately, and the climax of this case, we watched movie together. But after the cinema tragedy, we never met and talked for so long. Over all, he often dissapeared. And now, every time we meet, he just stay away from me. When he see me, he just say hello and then go to another place. So similar like what i did in the past. He dont want to sit and have a talk with me. He act as if there were nothing happened between me and him. And the most painful in this case, it feels like we never be a friend. I dont know when it is end, but i hope as soon as possible. Honestly, i hate such situation.

Thats why, now, i start thinking about karma.

How do you think???

Am i getting a karma?

Kamis, 21 Juli 2011

Kanvas Kosong Part II

Yogyakarta cukup dingin semalam dan Liza baru bisa memejamkan mata pukul 2 dini hari. Pukul 5 sebuah jam pemberian dari teman dekatnya di atas meja berdering, tapi tak cukup ampuh membangunkannya dari alam mimpi. 2 jam kemudian, bundanya memasuki kamar Liza dan hanya bisa berdecak menyaksikan anak gadisnya masih terlelap di pagi hari yang cukup cerah. Dalam hatinya, sang bunda berucap, “Zaa., matahari yang sama akan selalu bersinar untuk hari yang tak pernah berulang. Pagi ini pun, tak akan pernah kaw temui di pagi yang lain, baik kemaren maupun esok.Tak usah bersedih, harimu akan selalu berbeda, walapun dengan matahari dan bulan yang sama”


Mendengar hal itu, senyum Liza tersungging dan kepalanya mengangguk pasrah. Dalam hati ia bersyukur memiliki sosok Ibu yang sangat pengertian dan sabar. Sesegera mungkin ia paksa tubuhnya terangkat dari kasur empuk lalu setengah berteriak, “hoahhh,,,,, morrniinngg... i wonder how life will surprise me today,,,, :))”


Bunda mulai menyusuri setiap jengkal lantai kamar anaknya dan berhenti tepat di depan tirai jendela. Tanpa ragu, beliau sibakkan tirai itu sekuat mungkin sehingga sinar pagi dapat menembus ruangan anaknya tanpa bisa dielakkan. Awalnya Liza tak bereaksi, tapi tak butuh lebih dari 3 menit tubuhnya mulai menggeliat sembari memicingkan mata, berusaha menghindar dari sinar yang tepat mengarah ke matanya, menyilaukan. Sembari mengumpulkan nyawa, ia edarkan matanya dan mendapati sang bunda berada di salah satu sudut kamar. Liza lihat bundanya tersenyum dan berkata, “ tangi nduk, wes jam piro iki?? Siram trus sarapan.. Bunda uda buat masakan kesukaan kamu”.


Di meja makan, Liza menyantap makanan kegemarannya dengan lahap. Sang bunda tetap saja hanya bisa tersenyum melihatnya. Ruang makan itu tak terlalu luas, tetapi cukup untuk meja dengan 6 kursi. Desain ruangan minimalis, dengan 2 figura tergantung di sisi yang saling berhadapan. Tak banyak ornamen yang terpampang di sana. Salah satu dari 2 figura itu berisi lukisan bundanya yang Liza buat 3 hari lalu, tentu saja atas permintaan tulus dari beliau. Kalian tahu itu.


Hari itu Liza berencana ke toko buku. Entah berujung di kasir atau tidak, ia cukup senang hanya dengan melihat tumpukan buku berbagai cover. Toko itu tak terlalu ramai saat dirinya tiba di sana, tapi juga tak cukup jika ia hitung dengan jari tangannya saja. Selain suka melukis, tak perlu ditanya, Liza bisa menghabiskan waktu berjam jam di toko buku, walaupun sekali lagi,.. ditekankan,.. tanpa membeli... sebuah bukupun!


Saat sedang asyik menbolak – balik halaman sebuah buku yang segel plastiknya memang sudah terlepas, seseorang memanggilnya pelan dari belakang. Suara itu sedikit mengandung keraguan, seolah memastikan apakah yang disapanya adalah orang yang tepat. Liza terdiam sesaat. Hatinya pun ragu, tapi merasa tak asing dengan suara itu. Perlahan, ia balikkan badan dan mendapati sosok laki laki tampan dengan postur tubuh yang proporsional. Tak terlalu tampan sebenarnya, tapi cukup manis dan menyejukkan. Untuk beberapa menit ia masih ragu dengan pandangan matanya, dan berusaha memutar memori secepat mungkin. Sementara itu, laki laki tadi mulai tersenyum, pertanda telah yakin dengan yang ia lihat.

“Liza...kamu benar liza kan???”.


“iyaaa...p... aku liza.. maaf... kamu syapa ya?? Mungkin aku yang lupa”, ujar Liza dengan penuh selidik.


“hhah.... iya zaa... gak papa... aku Tama. Ingat nggak??”, ucap laki laki tadi dengan nada yang semakin mantap.


Liza hanya terdiam dengan tetap mempertahankan senyum tanggungnya dan tentu saja tak berhenti berfikir. Melihat reaksinya yang seperti belum juga menemukan kepastian, laki laki tadi kembali berucap, “Tama zaa...Tama... temen smp kamu! Dulu aku emang gendut sekali... mungkin itu yang buat kamu lupa. Sudah ingat???”.


Lambat laun ingatan Liza pulih, dan sejurus kemudian memang benar benar pulih. Dengan cukup bersemangat ia menyambut senyum lebar teman lamanya itu, “ owww... tamaa... yayaya... aq ingat...ingat... ya ampun tamm... kok bisa kecilan gini sekarang?? Ngapain aja kamu?? Gak makan selama sebulan ya?? Mending kamu kasih aq aja lemak mu yang ada di mana mana itu...kamu lihat kan...aq masih aja cungkring... hhe”.


“haha...bisa aja kamu zaa... lama ya gak ketemu, kuliah di mana kamu sekarang??”


“ iya...lama banget. Aku kuliah dii,,, adalah...pokoknya jurusan antropologi, dan tentunya gak di jogja..hhe. Kamu??”


“oww,,, kamu kuliah di luar kota?? Aku si masih setia sama jogja . Aku ambil jurusan komunikasi.”


“hmm.... keren keren. Cocok kok ama style penampilan kamu yang sekarang, broadcasting bangeeettt....hhe... :))”, Liza berseloroh.


“hahahah....bisa aja kamu za. Liza...Liza”


Cukup lama keduanya bercakap – cakap. Terbilang akrab. Setelah dirasa cukup, Liza minta izin untuk mendahului pulang. Sebelum membiarkan gadis itu pergi, Tama tak absen meminta nomor Liza. Katanya si syapa tau ada perlu. Liza tersenyum saja mengdengarnya. Toh, masih teman lama, fikirnya.


Hari sudah sore saat Liza kembali ke kediamannya. Ibunya sedang asyik menonton infotimen, sedang ayahnya belum kembali dari tempat kerja. Kedua adik laki – lakinya asyik mengobrol di beranda belakang. Liza setengah berlari menuju kamarnya, mengambil laptop dan sebuah modem. Tak butuh waktu lama ia telah berada di sisi bundanya. Liza pun tenggelam cepat dalam dunia mayanya. Ya,, Liza suka sekali internet, terutama situs jejaring sosial. Jumlah teman di salah satu situs bahkan mencapai ribuan.


“ealaah... cah enom jaman saiki,” decak sang bunda menyaksikan anaknya tak bergerak berhadapan dengan sebuah benda kotak, kecuali mata dan jari tangan yang seirama silih berganti ke kanan dan ke kiri.


Pukul 9 malam, baru laptopnya bisa beristirahat. Andaisaja benda itu bisa berbicara, sudah pasti telah lemas dan kehabisan suara, karena meronta – ronta minta dimatikan.


26 Januari 2017


Pukul 13.00 sebuah hp berdering singkat namun cukup keras, ternyata milik Liza. Tanpa perlu dikomando, ia raih ponselnya dan mendapati sebuh nama terpampang di layar itu. Tama. Liza tersenyum mendapati nama itu. Pesan itu berisi pertanyaan apakah ia suda makan atau belum, jika belum, Tama ingin mengajaknya makan siang diluar. Bahkan Tama menawarkan diri untuk menjemputnya. Setelah menimbang sejenak, jempolnya memencet tombol replay, lalu menuliskan sebuah kalimat setuju dan beralih ke tombol ok. Pesan terkirim.


Sebelum berangkat, laptopnya masih menyala. Liza membuka email sebentar, syapa tahu ada pesan masuk. Liza cukup rutin menengok account miliknya itu. Awalnya ia yakin tak ada apa apa, tapi saat folder inbox terbuka, disana terdapat sebuah pesan dari alamat yang belum dikenalnya.


From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#1

Hai.. selamat pagi!


Liza cukup heran dengan email itu. Tanpa tanda pengenal yang jelas. Ia berusaha memutar otak, siapa sekiranya pemilik email itu, Sempat terlintas di pikirannya pesan itu dari Bima, kekasihnya yang hilang itu. Tapi Liza tak yakin itu dari Bima. Bima??email?? Bima jarang sekali menyentuh email. Dahulu saja jika bukan Liza yang memaksa, sampai lebaran kucing juga sepertinya Bima tak akan membuat account. Tapi Liza tak ingin memikirkan itu, ia ingin lepas dari kesedihannya, walaupun jujur ia merindukan sosok itu. Teringat janjinya dengan Tama, buru buru ia matikan laptop itu dan segera lenyap dari kamar tidurnya.


Saat makan bersama, Tama dan Liza mengobrol akrab. Ya, mereka semakin akrab saja. Liza pun terlihat nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Apalagi Tama, tak usah ditanya, ia terlihat begitu mengagumi gadis di depannya. Hari terus berlalu. Banyak cerita yang mereka bagi, mulai dari soal kuliah, sampai masalah pribadi. Liza mulai bimbang dengan hatinya. Ia senang saat HP nya berdering dan berharap itu dari Tama. Tetapi di satu sisi ia masih sangat teringat Bima, terutama saat sedang sendiri. Tama pintar membawa suasana. Perbincangan keduanya tak pernah singkat. Tentang apapun, tapi belum sekalipun membicarakan soal “mereka”.


Siang berganti malam, malam berganti siang. Begitu seterusnya. Dan email dari orang tak dikenal 3 minggu lalu semakin rajin singgah di inbox account gadis itu. Liza cukup penasaran dengan pemilik email itu. Semua email hanya berisi kalimat peyemangat dan sapaan sapaan ringan. Tapi satu hal, tak satupun email email itu ia balas.


26 januari 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#2

Hai.. selamat malami!


27 januari 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#3

Hai.. ohayoo!! Ganbatte.. :))


27 januari 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#4

Selamat malam...kenanglah hari ini, harimu menyenagkan bukan :))


29 januari 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#6

Sudah siang... makanlah selagi sempat... :))


29 januari 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#7

Hai.. selamat malami!


13 February 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#35

Tersenyumlah... hari ini akan indah... :))


17 february 2017

From : grey_soul@yahoo.com

To : blueOcean@yahoo.com

Subject : greeting#50

Mimpi indah... Liza..


Kalian lihat?? Sekali lagi, tak ada tanda tanda email itu milik...Bima. Kecuali email ke 50. Bagaimana bisa orang itu menyebut namanya. Apakah orang itu kenal dengannya?? Apakah mereka pernah bertemu?? Dan...Apakah itu..Bima??? Ah..segalanya membuat situasi semakin runyam. Tama yang semakin perhatian, email yang semakin rajin datang, dan bunda yang memilih tak ikut campur dengan membiarkan anak gadisnya berfikir dewasa secara mandiri. Ya, Liza masih menyimpan rindunya untuk lelaki itu. Tama baik, ramah, sopan, periang. Tapi kehadirannya tak sepenuhnya bisa menghapus bayang Bma dari hidupnya. The feeling so strong, were lasting for so long.


19 February 2017


“Thanks God, It’s Sunday,,, :))”


Entah mengapa senyum Liza mengembang sempurna pagi itu. Bahkan ia bisa bangun lebih awal sebelum alarmnya berdering. Menakjubkan bukan. Entah setan apa yang merasukinya, atau dapat ilham apa semalam dalam mimpi nya, tak seorangpun tahu.


Liza sedang menarik sebuah kursi makan pertanda bersiap memasok energinya pagi itu, saat tiba tiba ponsel di tangannya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal tersemat di layar. Liza ragu, namun diangkatnya juga. Jantungnya berdebar hebat. Sebuah suara yang sangat ia kenal, terdengar dari speaker ponselnya. Hampir saja ponsel itu jatuh dari genggamannya.


Penelfon :

“Hai.... Selamat pagi... aku tahu kaw tak sabar ingin sarapan.. jangan tergesa gesa. Ah.. kaw semakin manis saja.. apalagi dengan baju warna merah yang kaw kenakan saat ini... kaw tahu?? Aku suka... .

To : blueOcean@yahoo.com

From : grey_soul@yahoo.com “


Liza hanya terdiam selama penelfon itu berbicara. Lidahnya kelu. Perasaannya tak menentu. Perlahan ia mulai meninggalkan ruang makan, dan dengan jantung masih berdebar menuju halaman rumah. Benar saja, tak sedikitpun bisa ia percaya pandangan matanya. Debar itu sangat khas, Liza bisa rasakan itu. Tak sedikitpun ia teringat Tama. Berulang kali ia yakinkan dirinya bahwa ini nyata. Bima, berdiri di halaman rumah, tersenyum lebar, masih dengan ponsel di tangannya dan berkata, “Hai...Liza”


Ia tatap lekat - lekat lelaki yang telah cukup lama ( tak benar – benar ) menghilang tanpa jejak itu. Lelaki yang sangat ia rindukan, lelaki yang ia yakin akan datang kembali. Ya..lelaki yang tak sepenuhnya hilang. Email Itu, grey_soul@yahoo.com, milik bima...


“Tell me what i’m feeling isn’t some mistake... cause,i believe that good things come to those who wait..especially...LOVE”, ucap Liza lirih.


END