Jumat, 24 Juni 2011

Seiring Senja

Hari rabu, pukul 14,00. Sang surya tak pernah lelah menyinari kota ini. Kota yang banyak orang bilang cukup asri, walaupun puluhan sepeda motor bederet menunggu lampu merah berubah warna. Ironis memang. Tapi diluar semua itu, aku suka kota ini. Kota tempat berkumpulnya anak muda dengan berbagai karakter dari segala penjuru, dengan tekat yang hampir sama. Menuntut ilmu. Aku berusaha berfikir positif bahwa mereka datang ke kota ini memang benar benar ingin meraih mimpi.

Aku berada di salah satu ruangan kampus yang cukup nyaman, dengan computer tertata rapi mulai bersahut sahutan lewat sentuhan jari jari manusia, menciptakan harmoninya masing masing. Ku edarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari sosok berbentuk bundar dengan formasi angka yang dicetak mengikuti kontur empunya. Namun tak ku temukan sosok itu. Dengan sedikit malas, ku keluarkan benda kotak dari saku jins yang sudah 7 jam belum berdering. Layar benda itu bertuliskan 14.05. Baru ku ingat, zuhur hampir habis, dan aku belum menunaikannya. Tanpa ba bi bu, ku berlari menuruni tangga menuju mushola. Melepas sepatu kets kesayangan yang selalu ku jaga dari guyuran hujan lalu menyongsong tempat wudhu. Seusai sholat, ruangan terbuka di sebelah mushola mengusik ku untuk segera ke sana. Tempat itu terlihat sejuk dengan angin bertiup lembut, hening tanpa bising, dan cukup nyaman untuk bersantai. Aku bawa sepatu kets ke tempat itu dan meletakkanya di lantai. Sembari duduk di kursi dan bersandarkan tembok, pikiran ku melayang ke setengah tahun yang lalu. Kisah yang mungkin akan selalu ku ingat entah sampai kapan.

Saat itu aku mengikuti suatu kepanitiaan yang melibatkan ribuan orang dari seluruh penjuru Indonesia. Aku ditempatkan di suatu posisi yang memberiku tanggung jawab untuk mengurus tempat menginap tamu tamu undangan acara tersebut. Mulai dari informasi kamar sampai informasi jadwal kegiatan. Awalnya semua berjalan lancer, tak ada kisah yang begitu membekas. Hingga akhirnya datang seorang bapak dari wilayah timur Indonesia menanyakan informasi kamar. Jujur, sejak pertama melihat beliau, ku merasa tak asing dengan wajahnya. Aku seperti sudah sering bertemu dengannya dan sangat mengenalnya. Detik itu, hanya ku abaikan saja semua gumaman hati. Setelah semua prosedur beres, dengan cukup tenang beliau menatapku sambil tersenyum dan berkata bahwa wajahku mengingatkan beliau pada anaknya yang baru saja meninggal terkena hidrosepalus. Beliau berkata bahwa umurnya sama dengan ku. Bahkan cara berbicara ku pun mirip dengan anaknya. Tak pelak, aku cukup syok saat mendengar pengakuan beliau. Baru saja ku berkata dalam hati tak asing dengannya, tiba tiba beliau berkata seperti itu. Banyak pertanyaan berkecamuk di dalam pikiran ku. Setelah itu, beliau mengobrol banyak dengan ku sampai waktu makan malam tiba. Topik pembicaraan bergulir begitu saja. Beliau pun tak sungkan untuk menceritakan mengenai anak perempuannya yang baru saja meninggalkan dunia fana ini. Setelah kejadian itu, aku ingin suatu ketika bisa bertemu dengannya kembali. Mungkin di tempat berbeda dengan kondisi berbeda.

Tiba – tiba Suara sepeda motor membuyarkan lamunan ku. Sembari tersenyum kecil sepatu kets mulai ku pakai dan segera beranjak dari zona nyaman. Kembali ke habitat semula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar