Sabtu, 25 Agustus 2012

Serasa Tahu Tapi Tak Pernah Benar Benar Tahu


Subuh ini dingin. Setan setan mulai bekerja dengan senyum. Terlebih, mereka tentu bahagia memasuki ruang ku. Dimana aku teronggok dengan setengah badan tertutup selimut. Ah.. aku benar benar sadar… mereka bahagia. Untuk kali ini kuijinkan. Sekali ini saja. Maaf ayah, jalan diluar telalu lengang dan mata cukup sayu, walau kutahu masjid tak sepi. Kau pun tahu itu hanya alasanku saja.

Rumah mulai hening. Setengah penghuninya telah beranjak menuju panggilan Allah. Hanya aku yang tersisa. Segera aku ambil air wudhu dan sholat. Tentu saja di ruangku. Aku takkan membiarkan setan setan itu bahagia untuk kedua kalinya. Selepas itu, aku kembali teronggok di kasur, dengan mata setengah terpejam. Aku mengantuk, namun tak benar benar sudi terlelap. Mengusir bosan, kuperhatikan isi kamarku dan berhenti pada sebuah majalah. Aku ingat betul, ayah memberiku majalah itu beberapa hari lalu. Aku cukup tertarik dengan sampulnya. Dan benar benar tenggelam dengan isinya. Walau jujur, tak semua bagian ku selami.

Membaca majalah itu, membuatku berfikir lebih keras. Sebenarnya pertanyaan yang muncul adalah pertanyaan dasar, yang seharusnya sudah kudapatkan jawabannya jauh jauh tahun. Mungkin ada baiknya sebelum memasuki bangku kuliah. Kupikir sudah terlambat jika memikirkannya sekarang, tetapi bukannya tak ada kata terlambat. Entahlah, tak ada salahnya dicoba. Pikirku.

Beberapa pertanyaan itu adalah : apa yang aku inginkan? Apa cita citaku? Aku bisa apa? Apa yang bisa aku lakukan? Apa yang sudah aku lakukan?

Jujur saja, semuanya tak mudah untuk dijawab. Apa yang aku inginkan? Ah.. seringkali aku sendiri tak tahu apa yang aku iginkan. Aku terbiasa dengan kepasrahan. Lebih banyak berkata “terserah”. Bahkan untuk memilih akan berbuka dengan semangkuk soto atau dengan sepiring nasi padang, tak cukup dengan 5 menit untuk menimbangnya. Dan tentu saja lebih sering berakhir dengan “terserah kamu, aku ngikut”.

Pertanyaan kedua, apa cita citaku? Aku sedikit tertawa merenunginya. Sudah pernah kuceritakan bukan, seseorang bertaya padaku apa cita citaku kelak. Dan aku hanya menjawab “hmm… tidak tahu pasti… mungkin pegawai bank… oh… atau penulis”. Ya.. aku benar benar tidak tahu dengan pasti. Bahkan aku tak memiliki sasaran pasti setelah lulus kuliah. Memikirkan itu, rasanya seperti terombang ambing di kapal feri, menuju pulau antah berantah.

Lalu, aku bisa apa? Ini pun tak bisa kujawab dengan sukses. Aku tak pandai memasak, karenanya tak mungkin membuka restoran. Aku bukan ahli gizi ataupun ahli akupunktur, jadi mustahil membuka klinik kesehatan. Aku juga bukan ahli teknik yang pandai mencipta piranti ataupun alat alat canggih jaman sekarang. Kemampuan bahasa pun rata rata. Jika kala itu aku tak benar benar serius menekuni b.inggris, mungkin toefl ku masih 400an lebih tapi kurang dari 450. Bisa mendapat nilai A pada kuliah b.inggris 6 saja sudah girang bukan main. Tapi tentu sangat belum sanggup mendapat beasiswa luar negeri.

Selanjutnya, apa yang bisa aku lakukan? Aku kebingungan, dan hanya diam. Bagaimana bisa aku menjelaskan apa yang bisa aku lakukan, jika apa yang aku iginkan saja aku tak benar benar tahu. Okelah… anggap saja aku bisa melakukan apapun dan mulai melakukan segalanya. Tetapi apakah itu menyenangkan? Melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas. Aku tak suka, tetapi juga tak tahu harus apa.  

Pertanyaan terakhir, setali tiga ranjau dengan pertanyaan sebelumnya. Apa yang sudah aku lakukan? Jawabannya singkat. Aku telah melakukan segala hal, tanpa benar benar tahu apa yang aku lakukan. Terkadang aku hanya berfikir, mungkin ini baik bagi masa depanku, walaupun hanya Tuhan yang tahu.

Ah… apa hubungannya semua pertanyaan itu dengan majalah? Kubocorkan kawan, majalah itu bernama Intisari. Edisi agustus 2012. Didalamnya termuat ulasan mengenai 50 inspirasi Indonesia. Aku benar benar ingin seperti mereka. Memiliki tujuan yang jelas, tahu apa yang harus dilakukan, tak menyerah pada rintangan, dan tak takut untuk beraksi. Aku pernah dengar perkataan “ Teori tak berarti tanpa praktek”. Itulah mereka.

Aku ingin seperti Anies Basweden, yang melakukan langkah nyata untuk membantu mencerdaskan bangsa. Aku juga ingin seperti Dahlan Iskan, politikus yang tau mana  yang benar, yang benar benar menghidupkan akal sehatnya. Tentu aku juga ingin seperti Jing Tio, yang sukses mengenalkan bumbu bumbu khas Indonesia di Amerika. Bahkan toko alat alat dapur miliknya dijadikan rujukan chef chef dunia. Hebat kan! Kawan, tahukah kalian kalau mobil Daihatsu A-Concept didesain oleh putra Indonesia bernama Mark Widjaja? Oia, ada seseorang bernama Aggi Tjetje yang selama hidupnya dihabiskan untuk menuntut ilmu. Saat ini umurnya 62 tahun.  Beliau mendapat 12 gelar akademik, lulus lebih dari 30 kursus keterampilan, belajar 26 bahasa asing, dan menguasai lebih dari 100 alat musik! Aku sendiri tak sanggup membayangkannya. Ada juga seseorang bernama Erikar Lebang, yang dapat menginspirasi banyak orang hanya melalui akun twitternya. Tips – tips gaya hidup sehat yang tidak dibuat buat, dan lebih pada pengalaman pribadinya. Bahkan, seorang penderita Lupus pun dapat melakukan langkah nyata dalam hidupnya. Ia seorang seniman, relawan, aktivis social, mahasiswa S3 tapi juga anggota band metal. Hampir tak terlihat Sinta Ridwan adalah Odapus, orang dengan lupus. Ah… aku benar benar tersiksa dengan itu semua.

Mereka memang hebat. Tetapi akupun tahu semua itu diraih dengan perjuangan yang tak kalah hebat. Mungkin, aku hanya bisa iri dengan apa yang telah mereka raih. Baiknya, saat ini aku benar benar ingin tahu apa tujuan hidupku.

Bagaimana denganmu, kawan? Apa tujuan hidupmu? Apa yang kau inginkan?

P.S : Sungguh! tulisan ini bukan promosi… dan selepas perenungan, aku benar benar tidur!… Terima kasih telah menyantap ceracauan subuhku yang bagi kalian mungkin hanya sampah.... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar